Night Diamond - Link Select 2

Kamis, 28 Februari 2013

Iringi Keburukan Dengan Kebaikan

(Syarh Hadits Ke-18 Arbain anNawawiyyah)

Dari Abu Dzar, Jundub bin Junadah dan Abu ‘Abdurrahman, Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhuma, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau bersabda: “Bertaqwalah kepada Allah di mana saja engkau berada dan susullah sesuatu perbuatan dosa dengan kebaikan, pasti akan menghapuskannya dan bergaullah sesama manusia dengan akhlaq yang baik”.
[HR. Tirmidzi, ia telah berkata: Hadits ini hasan, pada lafazh lain derajatnya hasan shahih]

PENJELASAN UMUM MAKNA HADITS

Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam memberikan bimbingan dalam 3 hal:
  1. Bertakwa kepada Allah di manapun kita berada. Di waktu sendirian maupun di tengah keramaian. Di setiap waktu dan tempat.
  2. Jika suatu ketika kita melakukan dosa, susulkanlah / iringi dengan banyak perbuatan ibadah dan kebaikan, agar bisa menghapus dosa itu.
  3. Bergaullah sesama manusia dengan akhlak yang baik

Definisi Taqwa

Thalq bin Habiib(seorang Tabi’i, salah satu murid Sahabat Nabi Ibnu Abbas) menjelaskan definisi taqwa: “Amalan ketaatan kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah dengan mengharap pahala Allah dan menjauhi kemaksiatan-kemaksiatan kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah dengan perasaan takut dari adzab Allah”.

Banyak para Ulama’ yang memuji definisi ini di antaranya al-Imam adz-Dzahaby, kemudian beliau mensyarah (menjelaskan) maksud dari definisi tersebut dalam Siyaar A’laamin Nubalaa’ (4/601)

Beberapa poin penting dari definisi taqwa menurut Thalq bin Habiib tersebut:
  1. Taqwa adalah amalan ketaatan kepada Allah dan menjauhi kemaksiatan kepada Allah.
Taqwa harus berupa amal perbuatan, tidak cukup hanya dalam hati atau ucapan saja.
  1. Taqwa harus didasarkan cahaya dari Allah, yaitu ilmu syar’i dan ittiba’ (mengikuti Sunnah Nabi).
Tidak mungkin seseorang bisa bertakwa kepada Allah tanpa ilmu. Dengan ilmu ia akan tahu mana hal-hal yang diperintah Allah (wajib atau sunnah), yang dilarang Allah (haram atau makruh), dan mana yang boleh dikerjakan (mubah).

Seseorang bisa beribadah kepada Allah hanya dengan tuntunan dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam.
  1. Taqwa harus didasari keikhlasan melakukannya karena Allah bukan karena tendensi yang lain. Ia jalankan ketaatan karena mengharap pahala Allah, dan ia tinggalkan kemaksiatan karena takut dari adzab Allah.


Iringilah Perbuatan Dosa dengan Kebaikan-Kebaikan Niscaya akan Menghapus Dosa Tersebut

Amal ibadah yang dikerjakan dengan ikhlas dan sesuai dengan Sunnah Rasul selain menambah pahala juga bisa menghapus dosa sebelumnya. Di antaranya adalah sholat, puasa, shodaqoh, umrah, amar ma’ruf nahi munkar, duduk di majelis ta’lim, dan semisalnya.

“ (antara) sholat lima waktu (yang satu dengan berikutnya), Jumat dengan Jumat, Romadlon dengan Romadlon, sebagai penghapus dosa di antaranya jika dosa-dosa besar ditinggalkan “ (H.R Muslim)

 Fitnah yang dialami seorang laki-laki pada keluarga, harta, diri, dan tetangganya dihapuskan oleh puasa, sholat, shodaqoh, dan amar ma’ruf nahi munkar (H.R Muslim)

Namun, yang bisa dihapus dengan perbuatan-perbuatan baik (ibadah) itu adalah untuk dosa-dosa kecil saja, sedangkan dosa besar hanya bisa dihapus dengan taubat nashuha. Syarat taubat nashuha adalah bertaubat dengan ikhlas karena Allah semata, menyesal secara sungguh atas perbuatannya, meninggalkan perbuatan maksiat tersebut, bertekad kuat untuk tidak mengulangi lagi selama-lamanya, dan jika terkait dengan hak hamba Allah yang lain, ia harus meminta maaf (minta dihalalkan).

Apa perbedaan dosa besar dengan dosa kecil? Dosa besar adalah segala macam perbuatan atau ucapan yang dilarang dan dibenci Allah dan diancam dalam dalil-dalil alQuran atau hadits dengan adzab neraka, laknat Allah, kemurkaan Allah, tidak akan masuk surga, tidak termasuk orang beriman, Nabi berlepas diri dari pelakunya, atau dosa yang ditegakkan hukum had di dunia, seperti membunuh, berzina, mencuri, dan semisalnya. Sedangkan dosa kecil adalah sesuatu hal yang dibenci atau dilarang Allah dan Rasul-Nya namun tidak disertai dengan ancaman-ancaman seperti dalam dosa besar.

 Namun, harus dipahami bahwa suatu dosa yang asalnya kecil bisa menjadi besar jika dilakukan terus menerus dan dianggap remeh.

Sahabat Nabi Anas bin Malik menyatakan:

Tidak ada dosa kecil jika dilakukan secara terus menerus (riwayat ad-Dailamy dan al-Iraqy menyatakan bahwa sanadnya jayyid (baik)

Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Hati-hatilah kalian dari dosa yang diremehkan (dosa kecil) karena dosa itu bisa berkumpul pada seseorang hingga membinasakannya (H.R Ahmad, atThobarony, al-Baihaqy, dinyatakan oleh al-Iraqy bahwa sanadnya jayyid (baik) ).


Majelis Ilmu Menghapus Dosa dan Menggantikan Keburukan Menjadi Kebaikan

Duduk di majelis ta’lim yang di dalamnya dibahas ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits yang shohih dengan pemahaman Salafus Sholeh, bisa menyebabkan dosa terampuni. Bahkan keburukan-keburukan diganti dengan kebaikan.

Tidaklah suatu kaum berkumpul mengingat Allah,  tidak menginginkan kecuali Wajah-Nya, kecuali akan ada penyeru dari langit:”Bangkitlah dalam keadaan diampuni, keburukan-keburukan kalian telah diganti dengan kebaikan (H.R Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh  al-Albany)

Atha’ bin Abi Robaah –salah seorang tabi’i (murid Sahabat Nabi Ibnu Abbas,  Ibnu Umar, Abu Hurairah) berkata: Barangsiapa yang duduk di (satu) majelis dzikir, Allah akan hapuskan baginya 10 majelis batil (yang pernah diikutinya). Jika majelis dzikir itu dilakukan fii sabiilillah, bisa menghapus 700 majelis kebatilan (yang pernah diikutinya). Abu Hazzaan berkata : Aku bertanya kepada Atha’ bin Abi Robaah: Apa yang dimaksud dengan majelis dzikir? Atho’ menjelaskan: (majelis dzikir) adalah majelis (yang menjelaskan) halal dan haram, tentang bagaimana sholat, berpuasa, menikah, thalak, dan jual beli.
 (Hilyatul Awliyaa’ karya Abu Nu’aim (3/313), al-Bidayah wanNihaayah karya Ibnu Katsir(9/336)).


Akhlak yang Baik

Para Ulama’ Salaf  mendefinisikan akhlaq yang baik, di antaranya :

Al-Hasan al-Bashri mengatakan : “ Akhlaq yang baik adalah dermawan, banyak memberi bantuan, dan bersikap ihtimaal (memaafkan).

AsySya’bi menjelaskan : “ Akhlaq yang baik adalah suka memberi pertolongan dan bermuka manis

Ibnul Mubaarok mengatakan : “ Akhlaq yang baik adalah bermuka manis, suka memberi bantuan (ma’ruf) , dan menahan diri untuk tidak mengganggu/menyakiti orang lain “ (Jaami’ul ‘Uluum wal Hikaam karya Ibnu Rajab juz 1 hal 454-457)

Keutamaan akhlaq yang baik banyak disebutkan oleh Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam dalam hadits beliau :

 “ Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya “ (H.R Ahmad, Abu Dawud, AtTirmidzi, al-Hakim dan dishahihkan oleh adz-Dzahaby).

 “ Sesungguhnya seorang mukmin dengan kebaikan akhlaqnya bisa mencapai derajat orang-orang yang (banyak) berpuasa dan (banyak) melakukan qiyamullail “ (H.R Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim, dishohihkan oleh adz-Dzahaby)

“(Hal) yang paling banyak memasukkan orang ke dalam surga adalah taqwa kepada Allah dan akhlaq yang baik “(H.R Ahmad, AtTirmidzi, Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh al-Albany )

“ Aku menjamin rumah di bagian surga yang tertinggi bagi orang yang baik akhlaqnya”(H.R Abu Dawud dan AtThobrooni dan dihasankan oleh Syaikh al-Albany) 


[Dikutip dari tulisan Ustadz Abu Utsman Kharisman]



 

Jumat, 22 Februari 2013

Mengingat Kembali, Dari Apa Kita dicipta

Dalam perjalanan kehidupan ini kita senantiasa menyaksikan, apakah dengan penglihatan kita, pendengaran kita atau dengan persaksian yang selainnya, ada seorang yang terlahir di muka bumi ini di waktu yang telah lalu,  kemarin atau hari ini. Dengan berjalannya waktu, mereka tumbuh berkembang. Terkadang seseorang tidak sempat memikirkan tanda-tanda kebesaran Allah dalam penciptaan manusia tersebut. Sesungguhnya dari apa kita diciptakan Allah? Lebih lagi tidak mengerti untuk apa manusia diciptakan.

Allah Ta’aala berfirman :

Bukankah Telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), Karena itu kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya kami Telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.(Al-Insan : 1-3).

Allah Ta’aala mengatakan  dengan menyebutkan dalam surat yang mulia ini (surat al-Insan) awal permulaan keadaan seorang manusia, baik  permulaannya, pertengahan dan akhir manusia tersebut. Allah Ta’aala menyebutkan Sebelum adanya manusia , telah berlalu suatu masa yang sangat panjang  ia adalah sesuatu yang tidak ada, atau bahkan sesuatu yang tidak bisa disebut.  Di saat Allah Ta’aala menghendaki untuk menciptakan manusia, maka Allah cipta Adam bapak manusia yang terbuat dari tanah, hingga secara berturutan sambung menyambung  Allah Ta’aala cipta anak cucu Adam.  Allah Ta’aala katakan :

 “Dari setetes air mani yang telah bercampur”.

Yaitu air yang hina dan menjijikkan, Allah Ta’aala hendak mengujinya dengan perkara tersebut. Agar Allah Ta’aala mengetahui apakah ia (manusia) kemudian melihat keadaannya di awal pertama dan memikirkan ataukah ia melupakannya atau bahkan ia menipu dirinya sendiri?

Allah Ta’aala telah menjadikan manusia serta memberikan kekuatan dalam bentuk lahir dan batin, semisal pendengaran, penglihatan dan bagian-bagian  tubuh yang lain. Kemudian Allah Ta’aala menyempurnakannya dan menjadikan semua itu dalam keadaan baik dan berfungsi sehingga ia mampu mencapai apa yang menjadi maksud tujuannya.

 Hingga Allah Ta’aala utus para Rasul utusanNya, Allah turunkan kitab-kitabNya kepada mereka (manusia) serta menunjuki manusia suatu jalan yang akan menghantarkan mereka kepada Allah Ta’aala. Memberikan motivasi di kala manusia menempuh jalan tersebut, dan menjelaskan tentang apa yang akan didapatkan ketika seseorang itu telah sampai kepada Allah Ta’aala.

Kemudian Allah terangkan kepada manusia jalan-jalan yang akan menyeret kepada kebinasaan. Allah Ta’aala memberikan ancaman (bagi manusia) terhadap jalan tersebut, serta menjelaskan perihal apa yang akan ia terima apabila seseorang memilih menempuh jalan tersebut,  dan Allah mengujinya  dengan perkara itu. Maka manusia terbagi, menjadi seorang yang bersyukur terhadap kenikmatan Allah Ta’aala yang diberikan kepadanya, sehingga ia kemudian  menunaikan hak-hak yang Allah embankan kepadanya, bagian manusia yang lain adalah seorang yang kufur terhadap kenikmatan yang telah Allah berikan kepada mereka terkait kenikmatan agama dan kenikmatan dunia, ia menolaknya hingga kufur kepada Rabb-nya dan ( lebih memilih) untuk menempuh jalan yang menjerumuskan kepada kebinasaan Demikian apa yang dituturkan oleh as-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam kita Taisirul Karimir Rahman fii Tafsiiri Kalaamil Mannan tafsir surat al-Insan ayat 1-3).

Dari setetes air mani yang hina lagi menjijikkan yang telah bercampur dengan hal yang serupa, itulah asal mula kita sebagai anak cucu Adam, dalam keadaan berada dan melewati  jalan yang biasa di lewati suatu hal yang najis. Itulah asal mula keberadaan kita sebagai manusia. Semua itu dimengerti oleh setiap individu yang bisa menggunakan akalnya.  Dan hendaknya setiap individu menyadari hal tersebut, untuk kemudian tahu akan dirinya, yang harus tunduk kepada setiap seruan penciptanya yaitu  Allah Ta’aala yang telah memberikan kemuliyaan kepadanya, berupa ilmu dan seluruh kenikmatan-kenikmatan yang telah Allah Ta’aala berikan kepadanya.

Untuk beribadah hanya kepada Allah Ta’aala semata dan untuk tidak sedikitpun mensekutukan kepada Allah Ta’ala dengan sesuatupun,  itulah tujuan diciptakannya manusia. Tujuan yang sangat mulia. Setiap manusia hendaknya mencari tujuan yang sangat mulia tersebut . Hanya untuk beribadah kepada-Nya semata.

Firman Allah Ta’aala :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُون

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (adz-Dzariyaat : 56).

Dengan mengingat kembali, dari apa manusia dicipta ia akan mengetahui kedudukan dirinya, ia tahu kadar dirinya, ia akan mengetahui betapa banyak kesempurnaan-kesempurnaan yang diberikan Allah atas dirinya sebagai makhluk. Dan dengan mengingat kembali dari apa ia dicipta, adakah kesempatan seseorang untuk kemudian berlaku kibir (sombong) kepada sesamanya, sedangkan ia dicipta dari suatu yang sama-sama menjijikkan. Dan Terlebih dari pada itu adakah kesempatan berlaku kibir (sombong) di hadapan Allah Ta’aala yang telah menciptakannya? Yang telah menyempurnakannya sebagai makhluk?

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .(at-Tiin : 4)

Hendaklah setiap individu menyadari dan sesaat untuk senantiasa mengingat kembali, dari apa asal ia dicipta ini. Sehingga pada akhirnya mengetahui kedudukan dan kadar dirinya, dan mengetahui untuk tujuan mulia apa ia dicipta.

Wallahu Ta’aala a’lam.

[Dikutip dari tulisan Ustadz Marwan Abu Hafsh ]

Kamis, 21 Februari 2013

Wasiat Nabi : Jangan Marah


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Berilah wasiat kepadaku”. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah engkau marah”. Maka diulanginya permintaan itu beberapa kali. Sabda beliau: “Janganlah engkau marah”.(HR. al-Bukhari)

PENJELASAN HADITS

Seorang laki-laki datang kepada Nabi dan meminta  diberi wasiat. Nabi mewasiatkan kepadanya untuk jangan marah. Hal itu diulangi beberapa kali, menunjukkan pentingnya wasiat tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa menahan amarah memiliki kedudukan, manfaat, dan keutamaan yang tinggi. Sebagian ulama’ menyatakan bahwa wasiat Nabi disesuaikan dengan keadaan orang yang meminta wasiat. Orang yang meminta wasiat tersebut adalah seorang pemarah, maka Nabi memberikan wasiat kepadanya agar jangan marah.
Janganlah engkau marah”, kata sebagian para Ulama’ mengandung 2 makna:
  1. Latihlah dirimu untuk senantiasa bersikap sabar dan pemaaf, jangan jadi orang yang mudah marah.
  2. Jika timbul perasaan marah dalam dirimu, kendalikan diri, tahan ucapan dan perbuatan agar jangan sampai terjadi hal-hal yang engkau sesali nantinya. Tahan diri agar jangan sampai berkata atau berbuat hal-hal yang tidak diridhai Allah.
(disarikan dari penjelasan Syaikh Abdurrahman as-Sa’di)

Marah Sumber Keburukan 

Dalam hadits riwayat Ahmad, laki-laki yang meminta wasiat kepada Nabi itu berkata: “(kemudian aku memikirkan wasiat Nabi tersebut), ternyata kemarahan adalah mencakup keburukan seluruhnya”.

Jika seseorang marah dan tidak berusaha untuk mengendalikannya, ia akan berbicara atau berbuat di luar kesadaran sehingga nanti akan ia sesali. Betapa banyak kalimat talak diucapkan suami karena marah, dan setelah kemarahannya mereda ia sangat menyesal. Ada juga orangtua yang sangat marah kepada anaknya sehingga memukul dan menganiayanya, akibatnya anaknya menjadi cacat. Betapa banyak kemarahan menyebabkan hubungan persaudaraan menjadi putus, harta benda dirusak dan dihancurkan. Semua itu menunjukkan bahwa kemarahan yang tidak dikendalikan akan menyebabkan keburukan-keburukan.

Keutamaan Menahan Amarah

Menahan amarah adalah sebab memperoleh ampunan Allah dan surga-Nya:

Dan bersegeralah menuju ampunan dari Tuhan kalian dan surga yang lebarnya (seluas) langit dan bumi yang disediakan bagi orang yang bertakwa, yaitu orang yang menginfakkan (hartanya) di waktu lapang atau susah, dan orang-orang yang menahan amarah, dan bersikap pemaaf kepada manusia, dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik (Q.S Ali Imran:133-134).

  Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Janganlah engkau marah, niscaya engkau mendapat surga (H.R at-Thobarony dan dishahihkan oleh al-Mundziri)

Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

Barangsiapa yang menahan amarah padahal ia mampu untuk melampiaskannya, Allah akan panggil ia di hadapan para makhluk pada hari kiamat, hingga Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari (terbaik) yang ia inginkan (H.R Abu Dawud, atTirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Sahabat Nabi Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhu berkata: Tidak ada luapan yang lebih besar pahalanya di sisi Allah selain daripada luapan kemarahan yang ditahan oleh seseorang hamba demi menggapai wajah Allah (riwayat al-Bukhari dalam Adabul Mufrad)  

Apa yang Harus Dilakukan Ketika Marah 

Jika seseorang mulai tersulut emosinya untuk marah, hal yang harus dilakukan untuk menahan atau meredakan kemarahan adalah:
         
1. Diam, tidak berkata apa-apa
وَإِذَا غَضِبْتَ فَاسْكُتْ
Jika engkau marah, diamlah (H.R al-Bukhari dalam Adabul Mufrad, dishahihkan Syaikh al-Albany).

2. Mengingat-ingat keutamaan yang sangat besar karena menahan amarah.
     
 3. Mengucapkan ta’awwudz: A’udzu billaahi minasysyaithoonir rojiim.

Nabi pernah melihat dua orang bertikai dan saling mencela, sehingga timbul kemarahan dari salah satunya. Kemudian Nabi menyatakan: Aku sungguh tahu suatu kalimat yang bisa menghilangkan (perasaan marahnya):A’udzu billaahi minasysyaithoonir rojiim (H.R al-Bukhari dan Muslim)

4. Merubah posisi : dari berdiri menjadi duduk, dari duduk menjadi berbaring.
 
 إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ
Jika salah seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri hendaknya ia duduk. Jika dengan itu kemarahan menjadi hilang (itulah yang diharapkan). Jika masih belum hilang, hendaknya berbaring (H.R Abu Dawud)

Faidah          : hadits yang menyatakan bahwa jika seseorang marah hendaknya berwudhu’ dilemahkan oleh sebagian Ulama’ di antaranya Syaikh al-Albany dalam Silsilah al-Ahaadits ad-Dhaifah no 582.

Marah Dalam Hal Syariat Allah Dilanggar

Bukanlah artinya seseorang tidak boleh marah sama sekali. Marah ketika ada penyelisihan terhadap syariat Allah adalah suatu hal yang diharapkan.

Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam tidak pernah membalas perlakuan buruk terhadap diri pribadi beliau, namun jika ada penyelisihan terhadap syariat Allah, beliau bersikap marah dan bertindak dengan tegas. Kemarahan beliau adalah karena Allah.

Ummul Mu’minin ‘Aisyah –radliyallaahu ‘anha- menyampaikan kepada kita:

مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلاَّ أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ وَمَا انْتَقَمَ رَسُوْلُ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  لِنَفْسِهِ إِلاَّ أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللهُ فَيَنْتَقِمُ ِللهِ بِهَا

“ Tidaklah Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam diberi pilihan di antara 2 hal kecuali beliau ambil yang paling mudah di antara keduanya selama tidak ada (unsur) dosa. Jika ada(unsur) dosa, beliau adalah manusia yang paling jauh darinya. Tidaklah Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam membalas (ketika disakiti) untuk dirinya sendiri, namun jika hal-hal yang diharamkan Allah dilanggar, beliau membalas untuk Allah ‘Azza wa Jalla “ (H.R AlBukhari-Muslim)

Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam pernah marah ketika melihat ada gambar makhluk bernyawa di rumahnya, kemudian beliau bersabda:

أَنَّ الْمَلَائِكَةَ لَا تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ صُورَةٌ وَأَنَّ مَنْ صَنَعَ الصُّورَةَ يُعَذَّبُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَقُولُ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ
Sesungguhnya para Malaikat (penyebar rahmat) tidaklah masuk ke rumah yang di dalamnya ada gambar (makhluk bernyawa), dan barangsiapa yang menggambar (makhluk bernyawa) akan diadzab pada hari kiamat dan dikatakan kepadanya: Hidupkan makhluk yang kalian ciptakan (H.R al-Bukhari no 2985).

[ Dikutip dari tulisan Ustadz Abu Utsman Kharisman; Syarh Hadits Ke-16 Arbain anNawawiyyah]




 

Jumat, 15 Februari 2013

Berbekal Dalam Perjalanan Singkat, Untuk Menuju Masa Panjang Tanpa Akhir

Sesungguhnya jika seorang pedagang mendatangi tempat perdagangan dan saat tersebut adalah memasuki musim perdagangan, kemudian melakukan berbagai bentuk transaksi untuk meraih keberuntungan, sungguh setelah ia pulang kembali saat musim perdagangan tersebut berakhir, maka kemudian  ia melakukan penghitungan dari hasil muamalahnya, ia melihat hasil yang didapatkan dari keberuntungannya dan apa yang diperoleh dari apa yang ia usahakan, ia melihat apakah ia beruntung ataukah ia rugi? Apakah ia berhasil atau ia pailit. Demikianlah perhatian yang besar dalam perdagangan di pasar dunia dan pada perkara yang akan binasa, maka hendaklah kita semua mengambil pelajaran darinya dengan cakap dan dengan akal yang bersih untuk perkara yang lebih besar.
Sungguh kita semua jadi ingat dengan berakhirnya hari-hari dan bulan-bulan yaitu kita mengingat berlalunya umur-umur kita, dan perjalanan menuju negeri kekekalan, dan dunia itu bukanlah negeri tempat tinggal, dunia itu hanyalah negeri yang dilewati dalam sebuah perjalanan singkat untuk menuju akherat suatu masa yang tanpa akhir, dan dunia itu hanyalah pasar yang seorang musafir mencari perbekalan sebagai perbekalan untuk safarnya, maka hendaklah setiap individu mencari bekal padanya dengan amalan-amalan sholeh firman Allah Ta’aala :
وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ ۚ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ
Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal. (Al-Baqoroh :197)
                        
Dunia itu dicerca lebih banyak dalam penyebutannya berkaitan kebinasaannya dan berbolak-baliknya keadaan dunia tersebut, dan ini merupakan awal dari dalil yang menunjukkan bahwa akan berakhirnya dunia itu, dan akan binasa dunia itu, dan keadaan  sehat di dunia itu akan diganti dengan keadaan sakit, dan adanya dunia itu akan diganti tidak adanya, keadaan muda akan diganti dengan ketuaan, kenikmatannya akan diganti dengan bencana, dan kehidupan di dunia ini akan diganti dengan kematian, bangunan-bangunannya akan diganti dengan kehancuran, berkumpulnya dan persatuan di dunia akan diganti dengan perpisahan terhadap orang-orang yang dicintai, dan setiap dari apa yang di atas tanah itu adalah tanah.

Maka hendaknya setiap individu dalam perjalanan hidup di dunia ini untuk kemudian berbekal. Bekal apa yang harus dikumpulkan dan dipersiapkan untuk suatu perjalanan jauh yang akan ia tempuh. Perjalanan nan panjang menuju kampung halaman yang diharapkan, kampung akhirat, kampung tempat tinggal akhir tanpa berakhir sesuai dengan ketentuan dan ketetapan dari sisi Allah Ta’aala yang telah menetapkan bahwa jannah (surga) dan neraka itu adalah kekal selamanya.

Dan sungguh mayoritas manusia dalam perjalanan hidupnya kebanyakan tertipu dengan perbekalan  yang harus ia persiapkan. Tertipu, sehingga mayoritas terlena dengan mengumpulkan perbekalan untuk semata hidup di dunia yang sesaat, dari kesibukan mengumpulkan perkara dunia dan melalaikan sebaik-baik perbekalan yaitu ketaqwaan dan amalan sholih. Lebih menyedihkan lagi, mereka memenuhi kebanyakan dari sisi kehidupannya dari perbuatan menghinakan diri dengan melumuri amalannya dengan berbagai perbuatan kesyirikan dan mencampakkan aqidahnya, kemudian mayoritas manusia meremehkan penegakan amalan sholat dan kewajiban zakat, sedangkan keduanya adalah sebesar-besar rukun islam setelah dua kalimat syahadah.

Atau bahkan seseorang tak mempedulikan lagi batasan-batasan syari’at untuk sekedar meraih bekal hidup dan kepentingan ambisi dunianya semata, menjatuhkan diri dalam perbuatan riba dalam keadaan mereka mengetahui hal tersebut adalah suatu yang dilarang syariat, sungguh telah tersebar riba dalam berbagai muamalah di kalangan kaum muslimin, tetapi bukan berarti mengharuskan untuk kaum muslimin menjatuhkan diri dalam hal riba tersebut, karena di sana banyak jalan upaya mencari rizki yang diridhoi oleh pembuat syari’at ini yaitu Allah Ta’aala. Dan yang lain sebagian para pemuda kaum muslimin telah terjatuh  pada perbuatan fakhisah (keji) dan perbuatan kotor. Dan telah menyebar kedustaan-kedustaan di dalam muamalah, dan didapati di antara orang-orang yang memiliki jabatan adanya saling memberikan suap yang dilaknat oleh Nabi shollallohu’alaihi wa sallam dari orang-orang yang berusaha untuk melakukan perbuatan suap, demikian pula yang menyuap dan yang menerima suap.

Demikian pula banyak perbuatan-perbuatan kejahatan di dalam urusan persengketaan dan kedustaan-kedustaan dalam persaksian. Sebagian para wanita meremehkan masalah hijab dan mereka memamerkan dandanannya dengan berhias pada pakainnya. Maka atas kaum muslimin untuk bertaqwa kepada Allah Ta’aala dan untuk memperhatikan dengan perhatian yang besar dari bahaya-bahaya tersebut, dan hendaklah memperbanyak taubat dan istighfar, sebagai bekal yang lain untuk meneruskan perjalanan panjangnya menuju kampung halaman yang diharapkan, kampung akhirat.

Maka hendaknya setiap individu muslim menjaga ketaqwaan kepada Allah ‘Azza Wa Jalla, dan berupaya untuk senantiasa menjauhi perbuatan kemaksiatan, karena kita ini di masa dimana sangat besar fitnah itu karena sebab bercampurnya kejelekan-kejelekan dengan kebaikan-kebaikan disebabkan karena berdekatannya negeri-negeri, dan karena mudahnya hubungan serta mudahnya sarana-sarana penyebaran yang memberitakan tentang kejelakan-kejelekan apakah dari perkara informasi judul lagu dan kelompok musik, berita actor dan artis serta para pemain sinetron dan sekaligus presenternya, apakah lewat sarana radio, televisi dan media lain dengan program-programnya yang rusak dan merusak, sampai menjadilah alam ini sebagaimana satu negeri, sesuatu yang terjadi di ujung dunia ini sampai ke ujung dunia yang lain dengan sangat cepat waktunya secara pendengaran, penglihatan dan bacaan.

Berbekal dengan menjaga ketaqwaan di atas pemahaman agama yang benar ini adalah jalan keselamatan di dunia dan di akhirat. Menelusuri jejak generasi terbaik, mempelajari dan memahami serta mengikuti pemahaman mereka para sahabat Nabi adalah keselamatan dua negeri (dunia dan akhirat). Keselamatan di dunia dengan terhindar dari berbagai kesesatan dan berbagai program penyesatan di dalam beragama ini. Keselamatan dengan terjaganya  darah, harta benda dan terpenuhi suasana aman, tumbuh kekuatan dan persatuan di antara kaum muslimin.

Demikianlah kebahagiaan sesungguhnya di muka bumi dan di akherat terselamatkan dari api neraka dan adzab yang pedih, dan menjadi sebab masuknya seseorang ke dalam jannah yang penuh kenikmatan, dan selamat dari berbagai bahaya dan kehancuran, dan tanpa pemahaman agama islam dengan benar ini tidaklah ada keselamatan dan kebahagiaan, dan hanyalah kerugian terus menerus yang di dapatkan, demikian pula kesengsaraan yang kekal, karena ia dalam kehidupan ini tidak berbekal dengan ketaqwaan dan amal shalih, akan tetapi berbekal dengan berbagai kelalaian yang menyengsarakan.
Seluruh manusia itu akan terus berada di atas kemuliyaan ketika  iman dan taqwa menjadi bekal manusia dan akan senantiasa memiliki kemuliyaan yang paling besar, firman Alloh Ta’aala :
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Artinya ; Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.. (Al Hujurot : 13).

[ Dikutip dari tulisan Ustadz Marwan Abu Hafsh ]

Rabu, 13 Februari 2013

Awas !!! Perkara Pembatal Pahala Puasa Kita

Ramadhan bulan penuh berkah, rahmat, dan keutamaan adalah kesempatan emas bagi setiap muslim yang mendambakan ampunan Allah dan surga-Nya, yang mengharap jauhnya diri dari murka Allah dan siksaNya. Merupakan karunia Allah pada kita ketika Allah panjangkan umur kita sampai pada bulan mulia ini, karena dengan itu berarti Allah memberikan kepada kita peluang besar untuk menggapai maghfirah (ampunan) dan surga-Nya. Serta peluang bagi kita untuk berusaha menyelamatkan kita dari neraka-Nya, dimana pada bulan ini di setiap malamnya Allah membebaskan sekian banyak orang yang mestinya menghuni neraka.

 Nabi Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
(artinya) : Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: “…Dan Allah memiliki orang-orang yang yang dibebaskan dari neraka, dan itu pada tiap malam (Ramadhan)”. [Shahih, Hadits Riwayat Tirmidzi:682. Shahih Sunan Tirmidzi]

 Dalam hadits lain seorang sahabat bernama Abu Umamah berkata kepada Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam:
(artinya) : Wahai Rasulullah maka perintahkanlah kepadaku sebuah amalan yang aku akan masuk surga dengannya. Nabi menjawab: “Hendaknya kamu puasa, tidak ada yang seperti puasa”. [HR Ibnu Hibban. Lihat Mawarid Dhom’aan:1/232]

Dua keutamaan di atas menggambarkan kepada kita tentang besarnya urusan puasa, keduanya merupakan puncak dari keutamaan puasa, dan selain itu masih banyak lagi dari berbagai macam keutamaan sebagaimana tersebut dalam hadits-hadits. Namun karena pembahasan kali ini bukan dalam rangka menyingkap keutamaan puasa, sehingga apa yang di atas cukup sebagai isyarat kepada yang lain bahwa yang kita akan bahas disini justru bagaimanakah kita dapat menggapai segala keutamaan tersebut. Saya menganggap hal itu yang lebih penting untuk dibahas kali ini mengingat banyaknya orang-orang yang melalaikan hal ini.
Nah, untuk menggapai keutamaan tersebut tentu bukan dengan sembarang puasa, bahkan harus dengan puasa yang sesuai dengan aturannya, sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala yang mensyariatkan puasa. Disamping keikhlasan dalam mengamalkan ibadah ini, dorongan iman dan mengharap pahala yang itu merupakan syarat diterimanya segala amalan, juga pada garis besarnya seorang yang berpuasa harus menjauhi dua hal penting, apa itu?

 Pertama, pembatal puasa
Kedua, pembatal pahala puasa

Poin kedua inilah yang akan kita bahas sekarang, mengingat banyaknya orang-orang yang berpuasa dan masih melalaikannya, dan mengingat bahayanya yang besar pada ibadah puasa karena ini dapat membatalkan pahala puasa atau paling tidaknya dapat mengurangi pahala puasa seukuran pelanggaran yang dia lakukan, dalam kondisi seorang yang melakukanya sering kali tidak menyadarinya. Ini tentu suatu ancaman.
 Hal ini dikarenakan puasa bukan sekedar menahan dari lapar dan dahaga atau dari pembatal yang lain, seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam :
(artinya) : Bukanlah puasa itu sekedar menahan dari makan dan minum. [Shahih, HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al-Hakim]

Yakni lebih dari itu, ada hal-hal lain yang ia harus menahan diri darinya sebagai bagian dari ibadah puasanya.
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah menerangkan: Seorang yang berpuasa adalah orang yang anggota badanya berpuasa dari perbuatan-perbuatan dosa, lisannya berpuasa dari kata dusta, kata keji, dan ucapan palsu, perutnya berpuasa dari makanan dan minuman, kemaluannya berpuasa dari bersetubuh. Bila dia berbicara, tidak berbicara dengan sesuatu yang mencacat puasanya, bila berbuat, tidak berbuat dengan suatu perbuatan yang merusak puasanya, sehingga seluruh ucapannya keluar dalam keadaan baik dan manfaat.
Demikian pula amalannya, amalannya bagai bau harum yang dicium oleh seorang yang berteman dengan pembawa minyak wangi misk, semacam itu pula orang yang berteman dengan orang yang berpuasa, ia mendapatkan manfaat dengan bermajlisnya bersamanya, aman dari kepalsuan, kedustaan, kejahatan dan kedhalimannya. Inilah puasa yang disyariatkan, bukan sekedar menahan dari makan dan minum terdapat dalam hadits yang shahih:
(artinya) : Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta, dan pengamalannya, serta amal kebodohan, maka Allah tidak butuh pada amalannya meninggalkan makan dan minumnya. [Shahih, HR Al-Bukhari]

 Dalam hadits yang lain:
(artinya) : Bisa jadi seorang yang berpuasa, bagiannya dari puasanya hanyalah lapar dan dahaga [Shahih, HR Ibnu Hibban:8/257]

Maka puasa yang sebenarnya adalah puasanya anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa, puasanya perut dari minum dan makan, maka sebagaimana makanan itu akan memutus puasa dan merusaknya, demikian pula perbuatan-perbuatan dosa akan memutus pahalanya dan merusak buahnya, sehingga menjadikan orang yang berpuasa seperti yang tidak puasa. [Al-Wabilushayyib:43]

Menengok kepada realita ibadah puasa yang dilakukan oleh manusia, Ibnu Qudamah membagi puasa menjadi tiga:
1. Puasa orang awam, yaitu sekedar menahan perut dan kemaluan dari keinginannya.
2. Puasa orang khusus, yaitu menahan pandangan, lisan, tangan, kaki, pendengaran, penglihatan dan seluruh   anggota badan dari perbuatan-perbuatan dosa.
3. Puasa orang yang lebih khusus, yaitu puasanya kalbu dari keinginan-keinginan yang hina, pemikiran-pemikiran yang menjauhkan dari Allah dan menahan kalbu dari selain Allah secara total. [Mukhtashar Minhajul Qashidin:58]

Demikian yang terjadi pada pengamalan manusia terhadap ibadah puasa ini, tentu semestinya semua orang, baik yang awam atau yang berilmu agar menjadikan puasanya ini pada tingkatan yang tertinggi. Dan disinilah lahan untuk berpacu bagi semua orang yang berjalan menuju Allah dalam ibadah ini, semoga Allah memberikan taufiq-Nya kepada kita semua untuk berlomba-lomba dalam meraih yang terbaik.
Selanjutnya untuk menuju puasa yang terbaik sebagaimana dikehendaki Allah, maka tentu kita perlu meruju kepada bimbingan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pengamalan ibadah ini, sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan kepada kita rambu-rambu untuk kita berhati-hati dari,

(artinya) : Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta, dan pengamalannya, serta amal kebodohan, maka Allah tidak butuh pada amalannya meninggalkan makan dan minumnya. [Shahih, HR Al Bukhari]

(artinya) : Dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya puasa itu bukan menahan dari makan dan minum saja, hanyalah puasa yang sebenarnya adalah menahan dari laghwu (ucapan sia-sia) dan rafats (ucapan kotor), maka bila seseorang mencacimu atau berbuat tindakan kebodohan kepadamu katakanlah: ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa’.” [Shahih, HR Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim, lihat kitab Shahih Targhib]

(artinya) : Dari Abu Hurairah ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah berfirman : …maka bila pada hari puasanya seseorang di antara kalian janganlah ia melakukan rafats dan janganlah ia yashkhab (berteriak, ribut), bila seseorang mencacimu atau mengganggumu maka
(artinya) : Dari Abu Hurairah dari Nabi ia bersabda: “Janganlah kamu saling mancaci (bertengkar mulut) sementara kamu sedang berpuasa maka bila seseorang mencacimu katakana saja: ‘Sesungguhnya saya sedang berpuasa’, dan kalau kamu sedang berdiri maka duduklah.” [Shahih, HR Ibnu Khuzaimah: 3/241, Nasa’i dalam Sunan Kubra: 2/241 Ibnul Ja’d: 1/411, tanpa kalimat terakhir. Imam Ahmad dalam Musnad:2/505 dan Ath-Thayalisi dalam Musnad:1/312. Lihat Shahih Targhib]

Dari hadits-hadits di atas maka dapat kita simpulkan bahwa pembatal pahala puasa atau yang akan menguranginya adalah sebagai berikut:
1. Qauluz-zur yakni ucapan dusta [Fathul Bari:4/117]
2. Mengamalkan qouluz-zur yakni perbuatan yang merupakan tindak lanjut atau konsekuensi dari ucapan dusta [Fathul Bari:4/117]
3. Jahl yakni amalan kebodohan [Fathul Bari:4/117]
4. Rafats yakni seperti dijelaskan Al-Mundziri: Terkadang kata ini disebutkan dengan makna bersetubuh, dan terkadang dengan makna, ‘kata-kata yang keji dan kotor’ dan terkadang bermakna ‘pembicaraan seorang lelaki dan perempuan seputar hubungan sex’, dan banyak dari ulama mengatakan: ‘yang dimaksud dengan kata rafats dalam hadits ini adalah ‘kata kotor keji dan jelek’. [Shahih Targhib:1/481] dengan makna yang terakhir ini maka punya pengertian yang lebih luas dan tentu mencakup makna-makna yang sebelumnya disebutkan. –Wallahu A’lam’-
5. Laghwu yakni ucapan yang tidak punya nilai atau manfaat [lihat An-Nihayah:4/257 dan Al-Mishbahul Munir:555] dan –wallahu a’lam- mencakup juga amalan yang tidak ada manfaatnya [lihat semakna dengannya kitab Faidhul Qodir:6228]
6. Shakhab yakni bersuara keras dan ribut dikarenakan pertikaian [An-Nihayah:3/14, Lisanul Arab:1/521] Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: Yakni jangan berteriak dan jangan bertikai [catatan kaki Mukhtashar Shahih al-Bukhari:443]
7. Bertengkar mulut
Demikian beberapa hal yang mesti dijauhi saat seseorang sedang berpuasa agar pahalanya tidak berkurang atau batal, disamping menjauhi hal-hal yang akan membatalkan puasanya. Dan diantara yang akan mensucikan puasa seseorang dari Laghwu dan rafats diatas adalah ia menunaikan zakat fitrah, sebagaimana tersebut dalam hadits.
(artinya) : Dari Ibnu Abbas ia berkata: “Rasulullah mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci bagi puasa dari laghwu dan rafats dan sebagai pemberian makan untuk orang-orang miskin, maka barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka itu zakat yang diterima. Dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat, maka itu adalah sebagai sedekah dari sedekah-sedekah yang ada” [HR Al-Hakim dalam kitab Al-Mustadrak dan beliau mengatakan: Shahih sesuai syarat Al-Bukhari namun Al-Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya]

Semoga bermanfaat, Wallahu a’lam…
(Dikutip dari tulisan al Ustadz Qomar ZA, Lc, judul asli Pembatal Pahala Puasa, dikirimkan ke redaksi via email beliau)

Senin, 11 Februari 2013

Belajar Ikhlas

Mengeja kata ikhlas adalah sesuatu yang bisa dilakukan oleh seorang anak yang masih balita yang baru belajar membaca, bahkan seorang yang mencari asal kata ikhlas secara bahasa adalah sangat mudah bagi mereka yang mempelajari bahasa Arab tingkat pemula. Lain halnya dengan penjagaan dan usaha untuk mengamalkan dari sebesar-besar perintah Allah tersebut, sebagaimana termaktub dalam firman Allah Ta’aala :

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan bagi-Nya agama ini. (Al-Bayinah : 5).

Yaitu Manusia tidaklah diperintahkan untuk mengerjakan pada seluruh syari’atNya kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan hanya memaksudkan pada seluruh peribadatan tersebut yaitu Wajah Allah semata, apakah peribadatan yang dhahir dan yang bathin dan dalam rangka untuk mendekatkan diri kepada-Nya. 

Rasulullah shallallhu’alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan dihasankan derajatnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rahimahullah- dari sahabat ‘Abdullah bin Umar –radziallahu’anhuma.- :

مَنْ طَلَبَ العِلْمَ لِيُبَاهيَ بِهِ العُلَماءَ وَيُمارِيَ بِهِ السُفَهاءَ أو ليَصْرِفَ وُجُوهَ النَّاسِ إلَيهِ فَهوَ في النَّارِ

“Barangsiapa yang mencari ilmu dengan tujuan menyaingi dengannya para ulama, atau untuk mendebat orang-orang bodoh, atau untuk menjadikan wajah-wajah manusia menoleh kepadanya maka orang tersebut (nanti) di dalam api neraka.”

Mencari ilmu adalah seutama-utama amalan sholeh dan seutama-utama jenis peribadatan kepada Allah Ta’aala, maka menjadi suatu keharusan atas siapa saja yang mencari ilmu untuk menjaga keikhlasan niat karena Allah semata, dan tidak diinginkan dengannya selain Allah, apakah dari niatan mencari kesenangan dunia atau niatan-niatan sebagaimana disebutkan dalam hadits tersebut di atas. Termasuk di antaranya adalah belajar ilmu agama semata menghendaki gelar-gelar dan semata-mata mencari ijazah dan niatan dunia yang lain. Maka niatan-niatan semata-mata karena perkara tersebut hendaklah dikoreksi kembali untuk kemudian diluruskan semata karena Allah Ta’aala.

Syaikh Muhammad Bin Shalih Al’Utsaimin telah menorehkan tinta emasnya berkaitan dengan bab keikhlasan di dalam mencari ilmu syari’ah pada sebuah karya beliau yaitu Kitab Al-Ilmu : Seyogyanya seseorang menjadikan tujuan mencari ilmu adalah untuk mencari wajah Allah ‘Azza Wa Jalla semata dan untuk negeri akhirat. Karena Allah Ta’aala telah menganjurkan kepada para hamba-Nya terhadap perkara ini, dan Allah Ta’aala telah menjadikan cinta kepada tujuan seperti ini sebagaimana Firman-Nya :

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ

“Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada ilah yang berhak diibadahi melainkan Allah dan memintalah pengampunan atas dosa-dosamu “(Muhammad : 19)

Di dalam Al-Qur’an sangat dikenal tentang pujian Allah atas orang-orang yang berilmu. Dan apabila Allah memuji atas sesuatu atau jika Allah memerintahkan kepada sesuatu maka hal tersebut adalah merupakan bentuk ibadah. Maka dengan demikian wajib bagi setiap penuntut ilmu untuk mengikhlaskan niatnya semata karena Allah Ta’aala. Apabila seorang mencari ilmu syar’i demi mengharapkan ijazah yang menghantarkan seseorang tersebut terhadap suatu kedudukan-kedudukan tertentu, Bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam sesungguhnya telah bersabda :



مَنْ تَعَلَّمَ عِلْماً يُبْثَغَي بِهِ وَجْهُ الله لاَ يَتَعَلَّمُهُ إلا لِيُصِيْبَ بِهِ عَرَضاً مِنَ الدُنْيَا لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَومَ الْقِيَامَةِ

Barangsiapa mencari ilmu yang seharusnya dengan niat dicari wajah Allah Ta’aala, akan tetapi seseorang tersebut mencarinya untuk bagian dari dunia, maka tidaklah ia akan mendapatkan baunya syurga di hari kiamat.

Ini adalah ancaman yang sangat keras. Akan tetapi apabila seseorang yang mencari ilmu mengatakan : Aku menghendaki ijazah bukan karena menginginkan dengannya bagian dari dunia, namun karena keadaan di masa sekarang ini manusia menqiyaskan seorang yang memiliki ilmu dengan ijazahnya. Maka kami mengatakan : Apabila memang niatnya mencari ijazah itu untuk memberikan kemanfaatan kepada makhluk dari sisi mengajarkan ilmu atau terkait dengan administrasi maka niat yang demikian ini adalah niat yang selamat dan tidak memudharatkan dikarenakan niatnya benar.

Para pembaca hafidhakumullah.

Demikian faedah emas dari seorang ulama Rabbani yang patut dicamkan, yang senantiasa berusaha membimbing umat agar tidak keliru berniat pada amalan yang sangat utama dan sangat mulia yaitu dalam menuntut ilmu (bisa dibaca pula dengan : dalam bersekolah). Dari sini diketahui bahwa niatan mencari ijazah sebagaimana penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin karena hal yang dijelaskan di atas adalah suatu yang diperbolehkan.

Tinggalah kita melihat kepada niatan diri-diri kita di dalam kita menuntut ilmu untuk mencari ijazah tersebut. Kalau dalam belajar agama ini semata mencari ijazah untuk mengharapkan kedudukan-kedudukan dunia maka masuklah dalam ancaman yang keras sebagaimana disebutkan dalam hadits yang beliau –rahimahullah- bawakan sebagaimana penjelasan beliau di atas. Dan yang perlu untuk diperhatikan pula dalam upaya meraih selembar ijazah tersebut adalah kejujuran-kejujuran pada perjalanan untuk meraihnya. Karena kejujuran itu akan membimbing kepada kebaikan dan kebaikan itu akan menghantarkan kedalam syurga, sebaliknya kedustaan itu akan menyeret kepada berbagai bentuk perbuatan fajir. Dan kefajiran itu akan menyeret ke dalam api neraka. Sehingga marilah kita bersama untuk senantiasa mempelajari bab keikhlasan.

Para pembaca hafidzakumullah,

Terlebih kedudukan kita sebagai seorang suami atas isterinya, sebagai orang tua atas anak-anaknya, sebagai seorang isteri dalam tanggung jawabnya sebagai isteri untuk mendampingi suaminya, sekaligus sebagai ibu atas anak-anaknya. Di pundak-pundak kita semuanya tanggung jawab tarbiyyah terhadap generasi anak-anak kita untuk mengemban dakwah ilallah. Berilah kepada anak-anak kita pembelajaran untuk senantiasa belajar ikhlas dalam belajar agama ini. Sebagai penutup atas pesan tulisan singkat ini. kita hendaklah senantiasa mengingat permohonan Nabi Ibrahim dalam doanya :

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ اجْعَلْ هَٰذَا الْبَلَدَ آمِنًا وَاجْنُبْنِي وَبَنِيَّ أَن نَّعْبُدَ الْأَصْنَامَ

Ya Rabb kami jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari beribadah kepada patung (Ibrahim : 35)

رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِن ذُرِّيَّتِي ۚ رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ

Ya Rabb jadikanlah kami adalah orang-orang yang menegakkan sholat dan demikian pula anak keturunan kami ( Ibrahim 40).



(dikutip dari salafy.or.id oleh Ustadz Marwan)

Minggu, 10 Februari 2013

Kisah-kisah Teladan Menakjubkan Tentang Semangat Menuntut Ilmu

Berikut ini adalah sepenggal kisah-kisah menakjubkan tentang kesungguhan para Ulama dalam menuntut ilmu. Semoga bisa menjadi pelajaran dan teladan bagi kita untuk bersemangat menjalankan aktifitas ilmiyyah: menempuh perjalanan menghadiri majelis ilmu, mencatat, murojaah (mengingat kembali pelajaran yang sudah didapat), membaca buku-buku para Ulama ', merangkum, meringkas, menyadur dan menyalin tulisan para ulama , mencatat faidah-faidah ilmu yang kita lihat dan dengar, mendengarkan rekaman ceramah-ceramah ilmiyyah melalui file-file audio, dan semisalnya.


Sesungguhnya menuntut ilmu adalah ibadah, bahkan menurut al-Imam asy-Syafi'i:

طلب العلم أفضل من صلاة النافلة

Menuntut ilmu lebih utama dibandingkan sholat Sunnah (Musnad asySyafi'i (1/249), Tafsir alBaghowy (4/113), Faidhul Qodiir (4/355))


Kisah-kisah nyata berikut ini sebagian besar disarikan dari kitab alMusyawwaq ilal Qiro-ah wa tholabil 'ilmkarya Ali bin Muhammad al-'Imran.


KESABARAN DAN KESUNGGUHAN MENUNTUT ILMU


Ibnu Thahir al-Maqdisy berkata: Aku dua kali kencing darah dalam menuntut ilmu hadits , sekali di Baghdad dan sekali di Mekkah . A ku berjalan bertelanjang kaki di panas terik matahari dan tidak berkendaraan dalam menuntut ilmu hadits sambil memanggul kitab-kitab di punggungku


BELAJAR SETIAP HARI


Al-Imam anNawawy setiap hari membaca 12 jenis ilmu yang berbeda (Fiqh, Hadits, Tafsir, dll ..)


MEMBACA KITAB SEBAGAI PENGUSIR kantuk


Ibnul Jahm membaca kitab jika ia mengantuk, pada saat yang bukan semestinya. Sehingga beliau bisa segar kembali.


BERUSAHA MENDAPATKAN faidah ILMU MESKI DI KAMAR MANDI


Majduddin Ibnu Taimiyyah (Kakek Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah) jika akan masuk kamar mandi berkata kepada orang yang ada di sekitarnya: Bacalah kitab ini dengan suara keras agar aku bisa mendengarnya di kamar mandi.


40 TAHUN TIDAKlah TIDUR KECUALI KITAB BERADA pada dadanya


Al-Hasan alLu'lu-i selama 40 tahun tidak tidur kecuali kitab berada di atas dadanya.


TIDAKlah BERJALAN KECUALI BERSAMANYA ADA KITAB


Al-Hafidz alKhothib tidaklah berjalan kecuali bersamanya kitab yang dibaca, demikian juga Abu Nu'aim alAsbahaany (penulis kitab Hilyatul Awliyaa ')


MENJUAL RUMAH UNTUK MEMBELI KITAB


Al-Hafidz Abul 'Alaa a-Hamadzaaniy menjual rumahnya seharga 60 dinar untuk membeli kitab-kitab Ibnul Jawaaliiqy


KEMAMPUAN MEMBACA YANG LUAR BIASA


Ibnul Jauzy sepanjang hidupnya telah membaca lebih dari 20.000 jilid kitab

Al-Khothib al-Baghdady membaca Shahih al-Bukhari dalam 3 majelis (3 malam), setiap malam mulai ba'da Maghrib sampai Subuh (jeda sholat)

Catatan: Shahih alBukhari terdiri dari 7008 hadits, sehingga rata-rata dalam satu kali majelis (satu malam) dibaca 2336 hadits.


Abdullah bin Sa'id bin Lubbaj al-Umawy dibacakan kepada beliau Shahih Muslim selama seminggu dalam sehari 2 kali pertemuan (pagi dan sore) di masjid Qurtubah Andalus setelah beliau pulang dari Makkah.

Catatan: Shahih Muslim terdiri dari 5362 hadits


Al-Hafidz Zainuddin al-Iraqy membaca Musnad Ahmad dalam 30 majelis (pertemuan)

Catatan: Musnad Ahmad terdiri dari 26.363 hadits, sehingga rata-rata dalam sekali majelis membacakan lebih dari 878 hadits.


Al-'Izz bin Abdissalaam membaca kitab Nihaayatul Mathlab 40 jilid dalam tiga hari (Rabu, Kamis, dan Jumat) di masjid.


Al-Mu'taman as-Saaji membaca kitab al-Fashil 465 halaman (kitab pertama tentang mustholah hadits) dalam 1 majelis.


Salah seorang penuntut ilmu membacakan di hadapan Syaikh Bin Baz Sunan anNasaa'i selama 27 majelis

Catatan: jika yang dimaksud adalah Sunan anNasaai as-Sughra terdiri dari 5662 hadits, sehingga rata-rata lebih dari 209 hadits dalam satu majelis.


Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany rata-rata menghabiskan waktu selama 12 jam sehari untuk membaca buku-buku hadits di perpustakaan.


MENGULANG-ULANG MEMBACA SUATU KITAB HINGGA BERKALI-KALI

Al-Muzani berkata: Aku telah membaca kitab Arrisalah (karya asy-Syafi'i) sejak 50 tahun lalu dan setiap kali aku baca aku menemukan faidah yang tidak ditemukan sebelumnya.

Gholib bin Abdirrahman bin Gholib al-Muhaariby telah membaca Shahih alBukhari sebanyak 700 kali.


KESUNGGUHAN MENULIS


Ismail bin Zaid dalam semalam menulis 90 kertas dengan tulisan yang rapi.

Ahmad bin Abdid Da-im al-Maqdisiy telah menulis / menyalin lebih dari 2000 jilid kitab-kitab. Jika senggang, dalam sehari bisa menyelesaikan salinan 9 buku. Jika sibuk dalam sehari menyalin 2 buku.


Ibnu Thahir berkata: saya menyalin Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, dan Sunan Abi Dawud 7 kali dengan upah, dan Sunan Ibn Majah 10 kali


Ibnul Jauzy dalam setahun rata-rata menyalin 50-60 jilid buku

Muhammad bin Mukarrom yang lebih dikenal dengan Ibnu Mandzhur-penulis Lisaanul Arab-ketika meninggal mewariskan 500 jilid buku tulisan tangan


Abu Abdillah alHusain bin Ahmad alBaihaqy adalah seseorang yang cacat sehingga tidak memiliki jari tangan, namun ia berusaha untuk menulis dengan menempatkan kertas di tanah dan menahannya dengan kakinya, kemudian menulis dengan bantuan 2 telapak tangannya. Ia bisa menghasilkan tulisan yang jelas dan bisa dibaca. Terkadang dalam sehari ia bisa menyelesaikan tulisan sebanyak 50-an kertas.


SANGAT BERSEMANGAT DALAM MENCATAT Faidah



Al-Imam anNawawy berkata: Janganlah sekali-kali seseorang meremehkan suatu faidah (ilmu) yang ia lihat atau dengar. Segeralah ia tulis dan sering-sering mengulang kembali.



Al-Imam al-Bukhary dalam semalam seringkali terbangun, menyalakan lampu, menulis apa yang teringat dalam benaknya, kemudian beranjak akan tidur, terbangun lagi, dan seterusnya sampai 18 kali.

Abul Qosim bin Ward atTamiimy jika diberikan kepada beliau suatu kitab beliau akan membaca dari atas sampai bawah, jika menemukan faidah baru beliau tulis dalam kertas tersendiri sampai terkumpul suatu pokok bahasan tertentu.


BERSAMA ILMU HINGGA MENJELANG AJAL



Abu Zur'ah arRaaziy ketika menjelang ajal dijenguk oleh sahabat-sahabatnya ahlul hadits mereka mengisyaratkan hadits tentang talqin Laa Ilaaha Illallaah. Sampai Abu Zur'ah berkata:

روى عبدالحميد بن جعفر, عن صالح بن أبي عريب, عن كثير بن مرة, عن معاذ عن النبي - صلى الله عليه وسلم -: ((من كان آخر كلامه: لا إله إلا الله دخل الجنة))

Abdul Humaid bin Ja'far meriwayatkan dari Sholih bin Abi Uraib dari Katsir bin Murroh dari Muadz dari Nabi shollallaahu 'alaihi wasallam: Barangsiapa yang akhir ucapannya adalah Laa Ilaaha Illallaah maka ia masuk surga.


Kemudian Abu Zur'ah meninggal

Ibn Abi Hatim berkata: Aku masuk ke ruang ayahku (Abu Hatim arRaziy) ketika beliau menjelang ajal dalam keadaan aku tidak mengetahuinya aku bertanya kepadanya tentang Uqbah bin Abdil Ghofir apakah ia adalah Sahabat Nabi? Ayahku menggeleng. Aku bertanya: Apakah ia Sahabat Nabi? Ayahku berkata: Bukan.Ia adalah tabi'in. Tidak berapa lama kemudian Abu Hatim wafat



<< Disampaikan pada kajian Rabu Malam Kamis 27 Jumadil Awwal 1433 H / 18 April 2012 di Masjid Perum PJB Paiton Probolinggo oleh Abu Utsman Kharisman >>









JILBAB WANITA MUSLIMAH

1. MELIPUTI SELURUH BADAN SELAIN YANG DIKECUALIKAN

Syarat ini terdapat dalam firman Allah dalam surat An-Nuur : 31 berbunyi :
“Katakanlah kepada wanita yang beriman : “Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan mereka dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka atau ayah suami mereka (mertua) atau putra-putra mereka atau putra-putra suami mereka atau saudara-saudara mereka (kakak dan adiknya) atau putra-putra saudara laki-laki mereka atau putra-putra saudara perempuan mereka (=keponakan) atau wanita-wanita Islam atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kaki mereka agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
Juga firman Allah dalam surat Al-Ahzab : 59 berbunyi :

“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mumin : “Hendaklah mereka mengulurkann jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.”
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam Tafsirnya : “Janganlah kaum wanita menampakkan sedikitpun dari perhiasan mereka kepada pria-pria ajnabi, kecuali yang tidak mungkin disembunyikan.”
Ibnu Masud berkata : Misalnya selendang dan kain lainnya. “Maksudnya adalah kain kudung yang biasa dikenakan oleh wanita Arab di atas pakaiannya serat bagian bawah pakiannya yang tampak, maka itu bukan dosa baginya, karena tidak mungkin disembunyikan.”
Al-Qurthubi berkata : “Pengecualian itu adalah pada wajah dan telapak tangan. Yang menunjukkan hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah bahwa Asma binti Abu Bakr menemui Rasulullah sedangkan ia memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah berpaling darinya dan berkata kepadanya : “Wahai Asma ! Sesungguhnya jika seorang wanita itu telah mencapai masa haid, tidak baik jika ada bagian tubuhnya yang terlihat, kecuali ini.” Kemudian beliau menunjuk wajah dan telapak tangannya. Allah Pemberi Taufik dan tidak ada Rabb selain-Nya.”

2. BUKAN BERFUNGSI SEBAGAI PERHIASAN

Ini berdasarkan firman Allah dalam surat An-Nuur ayat 31 berbunyi :
“Dan janganlah kaum wanita itu menampakkan perhiasan mereka.”
Secara umum kandungan ayat ini juga mencakup pakaian biasa jika dihiasi dengan sesuatu, yang menyebabkan kaum laki-laki melirikkan pandangan kepadanya. Hal ini dikuatkan oleh firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 33 :

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti oang-orang jahiliyah.”
Juga berdasarkan sabda Nabi :
“Ada tida golongan yang tidak akan ditanya yaitu, seorang laki-laki yang meninggalkan jamaah dan mendurhakai imamnya serta meninggal dalam keadaan durhaka, seorang budak wanita atau laki-laki yang melarikan diri (dari tuannya) lalu ia mati, serta seorang wanita yang ditinggal oleh suaminya, padahal suaminya telah mencukupi keperluan duniawinya, namun setelah itu ia bertabarruj. Ketiganya itu tidak akan ditanya.” (Dikeluarkan Al-Hakim 1/119 dan disepakati Adz-Dzahabi; Ahmad VI/19; Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad; At-Thabrani dalam Al-Kabir; Al-Baihaqi dalam As-Syuaib).
Tabarruj adalah perilaku wanita yang menampakkan perhiasan dan kecantikannya serta segala sesuatu yang wajib ditutup karena dapat membangkitkan syahwat laki-laki. (Fathul Bayan VII/19).

3. KAINNYA HARUS TEBAL (TIDAK TIPIS)  

Sebab yang namanya menutup itu tidak akan terwujud kecuali harus tebal. Jika tipis, maka hanya akan semakin memancing fitnah (godaan) dan berarti menampakkan perhiasan. Dalam hal ini Rasulullah telah bersabda : “Pada akhir umatku nanti akan ada wanita-wanita yang berpakain namun (hakekatnya) telanjang. Di atas kepala mereka seperti terdapat bongkol (punuk) unta. Kutuklah mereka karena sebenarnya mereka adalah kaum wanita yang terkutuk.”
Di dalam hadits lain terdapat tambahan : “Mereka tidak akan masuk surga dan juga tidak akan mencium baunya, padahal baunya surga itu dapat dicium dari perjalanan sekian dan sekian.” (At-Thabrani dalam Al-Mujam As-Shaghir hal. 232; Hadits lain tersebut dikeluarkan oleh Muslim dari riwayat Abu Hurairah. Lihat Al-HAdits As-Shahihah no. 1326).
Ibnu Abdil Barr berkata : “Yang dimaksud oleh Nabi adalah kaum wanita yang mengenakan pakaian yang tipis, yang dapat mensifati (menggambarkan) bentuk tubuhnya dan tidak dapat menutup atau menyembunyikannya. Mereka itu tetap berpakaian namanya, akan tetapi hakekatnya telanjang.” (dikutip oleh As-Suyuthi dalam Tanwirul Hawalik III/103).
Dari Abdullah bin Abu Salamah, bahawsannya Umar bin Al-Khattab pernah memakai baju Qubthiyah (jenis pakaian dari Mesir yang tipis dan berwarna putih) kemudian Umar berkata : “Jangan kamu pakaikan baju ini untuk istri-istrimu !.” Seseorang kemudian bertanya : “Wahai Amirul Muminin, Telah saya pakaikan itu kepada istriku dan telah aku lihat di rumah dari arah depan maupun belakang, namun aku tidak melihatnya sebagai pakaian yang tipis !” Maka Umar menjawab : “Sekalipun tidak tipis, namun ia mensifati (menggambarkan lekuk tubuh).” (Riwayat Al-Baihaqi II/234-235; Muslim binAl-Bitthin dari Ani Shalih dari Umar).
Atsar di atas menunjukkan bahwa pakaian yang tipis atau yang mensifati dan menggambarkan lekuk-lekuk tubuh adalah dilarang. Yang tipis (transparan) itu lebih parah daripada yang menggambarkan lekuk tubuh (tapi tebal). Oleh karena itu Aisyah pernah berkata : “Yang namanya khimar adalah yang dapat menyembunyikan kulit dan rambut.”

4. HARUS LONGGAR (TIDAK KETAT) SEHINGGA TIDAK DAPAT MENGGAMBARKAN SESUATU DARI TUBUHNYA

Usamah bin Zaid pernah berkata : Rasulullah pernah memberiku baju Quthbiyah yang tebal yang merupakan baju yang dihadiahkan oleh Dihyah Al-Kalbi kepada beliau. Baju itu pun aku pakaikan pada istriku. Nabi bertanya kepadaku : “Mengapa kamu tidak mengenakan baju Quthbiyah ?” Aku menjawab : “Aku pakaikan baju itu pada istriku.” Nabi lalu bersabda : “Perintahkan ia agar mengenakan baju dalam di balik Quthbiyah itu, karena saya khawatir baju itu masih bisa menggambarkan bentuk tulangnya.” (Ad-Dhiya Al-Maqdisi dalam Al-Hadits Al-Mukhtarah I/441; Ahmad dan Al-Baihaqi dengan sanad Hasan).
Aisyah pernah berkata : “Seorang wanita dalam shalat harus mengenakan tiga pakaian : Baju, jilbab dan khimar. Adalah Aisyah pernah mengulurkan izar-nya (pakaian sejenis jubah) dan berjilbab dengannya.” (Ibnu Sad VIII/71).
Pendapat yang senada juga dikatakan oleh Ibnu Umar : “Jika seorang wanita menunaikan shalat, maka ia harus mengenakan seluruh pakainnya : Baju, khimar dan milhafah (mantel).” (Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf II:26/1).
Ini semua juga menguatkan pendapat yang kami pegangi mengenai wajibnya menyatukan antara khimar dan jilbab bagi kaum wanita jika keluar rumah.

5. TIDAK DIBERI WEWANGIAN ATAU PARFUM

Dari Abu Musa Al-Asyari bahwasannya ia berkata : Rasulullah bersabda : “Siapapun wanita yang memakai wewangian, lalu ia melewati kaum laki-laki agar mereka mendapatkan baunya, maka ia adalah pezina.” (An-Nasai II/283; Abu Daud II/192; At-Tirmidzi IV/17; Ahmad IV/100, Ibnu Khuzaimah III/91; Ibnu Hibban 1474; Al-Hakim II/396 dan disepakati oleh Adz-Dzahabi).
Dari Zainab Ats-Tsaqafiyah bahwasannya Nabi bersabda : “Jika salah seorang diantara kalian (kaum wanita) keluar menuju masjid, maka jangan sekali-kali mendekatinya dengan (memakai) wewangian.” (Muslim dan Abu Awanah dalam kedua kitab Shahih-nya; Ash-Shabus Sunan dn lainnya).
Dari AbuHurairah bahwa ia berkata : Rasulullah bersabda : “Siapapun wanita yang memakai bakhur (wewangian yang berasal dari pengasapan), maka janganlah ia menyertai kami dalam menunaikan shalat Isya yang akhir.” (ibid)
Dari Musa bin Yasar dari Abu Hurairah : Bahwa seorang wanita berpapasan dengannya dan bau wewangian menerpanya. Maka Abu Hurairah berkata : “Wahai hamba Allah ! Apakah kamu hendak ke masjid ?” Ia menjawab : “Ya.” Abu Hurairah kemudian berkata : “Pulanglah saja, lalu mandilah ! karena sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah bersabda : ‘Jika seorang wanita keluar menuju masjid sedangkan bau wewangian menghembus maka Allah tidak menerima shalatnya, sehingga ia pulang lagi menuju rumahnya lalu mandi.” (Al-Baihaqi III/133; Al-Mundziri III/94).
Alasan pelarangannya sudah jelas, yaitu bahwa hal itu akan membangkitkan nafsu birahi. Ibnu Daqiq Al-Id berkata : “Hadits tersebut menunjukkan haramnya memakai wewangian bagi wanita yang hendak keluar menuju masjid, karena hal itu akan dapat membangkitkan nafsu birahi kaum laki-laki” (Al-Munawi dalam Fidhul Qadhir dalam mensyarahkan hadits dari Abu Hurairah).
Saya (Al-Albany) katakan : “Jika hal itu saja diharamkan bagi wanita yang hendak keluar menuju masjid, lalu apa hukumnya bagi yang hendak menuju pasar, atau tempat keramaian lainnya ? Tidak diragukan lagi bahwa hal itu jauh lebih haram dan lebih besar dosanya. Al-Haitsami dalam kitab AZ-Zawajir II/37 menyebutkan bahwa keluarnya seorang wanita dari rumahnya dengan memakai wewangian dn berhias adalah termasuk perbuatan kabair (dosa besar) meskipun suaminya mengizinkan.

6. TIDAK MENYERUPAI PAKAIAN LAKI-LAKI

Karena ada beberapa hadits shahih yang melaknat wanita yang menyrupakan diri dengan kaum pria, baik dalam hal pakaian maupun lainnya.
Dari Abu Hurairah berkata : “Rasulullah melaknat pria yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian pria” (Abu Daud II/182; Ibnu Majah I/588; Ahmad II/325; Al-Hakim IV/19 disepakati oleh Adz-Dzahabi).
Dari Abdullah bin Amru yang berkata : “Saya mendengar Rasulullah bersabda : “Tidak termasuk golongan kami para wanita yang menyerupakan diri dengan kaum pria dan kaum pria yang menyerupakan diri dengan kaum wanita.” (Ahmad II/199-200; Abu Nuaim dalam Al-Hilyah III/321)
Dari Ibnu Abbas yang berkata : “Nabi melaknat kaum pria yang bertingkah kewanita-wanitaan dan kaum wanita yang bertingkah kelaki-lakian. Beliau bersabda : “Keluarkan mereka dari rumah kalian. Nabi pun mengeluarkan si fulan dan Umar juga mengeluarkan si fulan.” Dalam lafadz lain : “Rasulullah melaknat kaum pria yang menyerupakan diri dengan kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupakan diri dengan kaum pria.” (Al-Bukhari X/273-274; Abu Daud II/182,305; Ad-Darimy II/280-281; Ahmad no. 1982,2066,2123,2263,3391,3060,3151 dan 4358; At-Tirmidzi IV/16-17; Ibnu Majah V/189; At-Thayalisi no. 2679).
Dari Abdullah bin Umar yang berkata : Rasulullah bersabda : “Tiga golongan yang tidak akan masuk surga dan Allah tidak akan memandang mereka pada hari kiamat; Orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yang bertingkah kelaki-lakian dan menyerupakan diri dengan laki-laki dan dayyuts (orang yang tidak memiliki rasa cemburu).” (An-Nasai !/357; Al-Hakim I/72 dan IV/146-147 disepakati Adz-Dzahabi; Al-Baihaqi X/226 dan Ahmad II/182).
Dalam haits-hadits ini terkandung petunjuk yang jelas mengenai diharamkannya tindakan wanita menyerupai kaum pria, begitu pula sebaiknya.
Ini bersifat umum, meliputi masalah pakaian dan lainnya, kecuali hadits yang pertama yang hanya menyebutkan hukum dalam masalah pakaian saja.

7. TIDAK MENYERUPAI PAKAIAN WANITA-WANITA KAFIR

Syariat Islam telah menetapkan bahwa kaum muslimin (laki-laki maupun perempuan) tidak boleh bertasyabuh (menyerupai) kepada orang-orang kafir, baik dalam ibadah, ikut merayakan hari raya, dan berpakain khas mereka.
Dalilnya : Firman Allah surat Al-Hadid : 16, berbunyi :

“Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka) dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata dalam Al-Iqtidha hal. 43 : “Firman Allah “Janganlah mereka seperti…” merupakan larangan mutlak dari tindakan menyerupai mereka, di samping merupakan larangan khusus dari tindakan menyerupai mereka dalam hal membatunya hati akibat kemaksiatan. Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini (IV/310) berkata : Karena itu Allah melarang orang-orang beriman menyerupai mereka dalam perkara-perkara pokok maupun cabang. “
Allah berfirman dalam surat al Baqarah:104:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad) : “Raaina” tetapi katakanlah “Unzhurna” dan dengarlah. Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.”
Ibnu Katsir I/148 berkata : “Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman untuk mnyerupai ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan orang-orang kafir. Sebab, orang-orang Yahudi suka menggunakan plesetan kata dengan tujuan mengejek. Jika mereka ingin mengatakan “Denagrlah kami” mereka mengatakan “Raaina” sebagai plesetan kata “ruunah” (artinya ketotolan) sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 46.
Allah telah memberi tahukan (dalm surat Al-Mujadalah : 22) bahwa tidak ada seorang mumin yang mencintai orang-orang kafir. Barangsiapa yang mencintai orang-orang kafir, maka ia bukan orang mumin, sedangkan tindakan menyerupakan diri secara lahiriah merupakan hal yang dicurigai sebagai wujud kecintaan, oleh karena itu diharamkan

8. BUKAN PAKAIAN UNTUK MENCARI POPULARITAS (PAKAIAN KEBESARAN)

Berdasarkan hadits Ibnu Umar yang berkata : Rasulullah bersabda :
“Barangsiapa mengenakan pakaian (libas) syuhrah di dunia, niscaya Allah mengenakan pakaian kehinaan kepadanya pada hari kiamat, kemudian membakarnya dengan api neraka.” (Abu Daud II/172; Ibnu Majah II/278-279).
Libas Syuhrah adalah setiap pakaian yang dipakai dengan tujuan untuk meraih popularitas di tengah-tengah orang banyak, baik pakain tersebut mahal, yang dipakai oleh seseorang untuk berbangga dengan dunia dan perhiasannya, maupun pakaian yang bernilai rendah, yang dipakai oleh seseorang untuk menampakkan kezuhudannya dan dengan tujuan riya (Asy-Syaukani dalam Nailul Authar II/94). Ibnul Atsir berkata : “Syuhrah artinya terlihatnya sesuatu. Maksud dari Libas Syuhrah adalah pakaiannya terkenal di kalangan orang-orang yang mengangkat pandangannya mereka kepadanya. Ia berbangga terhadap orang lain dengan sikap angkuh dan sombong.”
Kesimpulannya adalah : Hendaklah menutup seluruh badannya, kecuali wajah dan dua telapak dengan perincian sebagaimana yang telah dikemukakan, jilbab bukan merupakan perhiasan, tidak tipis, tidak ketat sehingga menampakkan bentuk tubuh, tidak disemprot parfum, tidak menyerupai pakaian kaum pria atau pakaian wanita-wanita kafir dan bukan merupakan pakaian untuk mencari popularitas.
Dikutip dari Kitab Jilbab Al-Marah Al-Muslimah fil Kitabi was Sunnah (Syaikh Al-Albany)