Night Diamond - Link Select 2

Selasa, 17 Desember 2013

Kematian yang Tidak Bisa Dihindari

Kematian tak bisa dihindari, tidak mungkin ada yang bisa lari darinya. Namun seribu sayang, sedikit yang mau mempersiapkan diri menghadapinya.

Kata ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, “Aku tidaklah pernah melihat suatu yang yakin kecuali keyakinan akan kematian. Namun sangat disayangkan, sedikit yang mau mempersiapkan diri menghadapinya.” (Tafsir Al Qurthubi)
Ingatlah

Tak mungkin seorang pun lari dari kematian …

قُلْ إِنَّ الْمَوْتَ الَّذِي تَفِرُّونَ مِنْهُ فَإِنَّهُ مُلَاقِيكُمْ ثُمَّ تُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Jumu’ah: 8).

Harus diyakini …
Kematian tak bisa dihindari …
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ

Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (QS. An Nisa’: 78).

Semua pun tahu …
Tidak ada manusia yang kekal abadi …
وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ

Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad).” (QS. Al Anbiya’: 34).

Yang pasti …
Allah yang kekal abadi …
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ (26) وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالإكْرَامِ (27)

Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar Rahman: 26-27).

Lalu …
Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian …
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS. Ali Imran: 185).

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Yang dimaksud dengan ayat-ayat di atas adalah setiap orang pasti akan merasakan kematian. Tidak ada seseorang yang bisa selamat dari kematian, baik ia berusaha lari darinya ataukah tidak. Karena setiap orang sudah punya ajal yang pasti.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3: 163).

Jadilah mukmin yang cerdas …

عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ : كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ قَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَفْضَلُ قَالَ : « أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا ». قَالَ فَأَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَكْيَسُ قَالَ : « أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ الأَكْيَاسُ ».

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu seorang Anshor mendatangi beliau, ia memberi salam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mukmin manakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Yang paling baik akhlaknya.” “Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?”, ia kembali bertanya. Beliau bersabda, “Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas.” (HR. Ibnu Majah no. 4259.Hasan kata Syaikh Al Albani).

Hanya Allah yang memberi taufik.

Akhukum fillah,

Diselesaikan di Pesantren Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 29 Muharram 1435 H (09:48 AM)


Meninggalkan Shalat Ashar, Terhapuslah Amalnya

Siapa yang meninggalkan shalat Ashar, maka terhapuslah amalnya. Ini menunjukkan bahaya meninggalkan satu shalat saja.

Dari Burairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَرَكَ صَلاَةَ الْعَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ

Barangsiapa meninggalkan shalat Ashar, maka terhapuslah amalannya” (HR. Bukhari no. 594).

Kata Al Muhallab, maknanya adalah meninggalkan dengan menyia-nyiakannya dan menganggap remeh keutamaan waktunya padahal mampu untuk menunaikannya. Lihat Syarh Al Bukhari karya Ibnu Batthol, 3: 221.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Terhapusnya amalan tidaklah ditetapkan melainkan pada amalan yang termasuk dosa besar. Begitu shalat meninggalkan shalat Ashar lebih parah daripada meninggalkan shalat lainnya. Karena shalat Ashar disebut dengan shalat wustho[1] yang dikhususkan dalam perintah untuk dijaga. Shalat Ashar ini juga diwajibkan kepada orang sebelum kita di mana mereka melalaikan shalat ini. Jadi, siapa saja yang menjaga shalat Ashar, maka ia mendapatkan dua ganjaran.”  (Majmu’atul Fatawa, 22: 54).

Ibnul Qayyim  berkata, “Yang nampak dari hadits, meninggalkan amalan itu ada dua macam. Pertama, meninggalkan secara total dengan tidak pernah mengerjakan shalat sama sekali, maka ini menjadikan amalnya batal seluruhnya. Kedua, meninggalkan pada hari tertentu, maka ini menjadikan amalnya batal pada hari tersebut. Jadi karena meninggalkan secara umum, maka amalnya batal secara umum. Lalu meninggalkan shalat tertentu, maka amalnya batal pada hari tertentu.” (Ash Shalah, hal. 59).

Bagaimana amalan bisa terhapus selain menentang Islam (riddah)?

Iya, ditunjukkan dalam Al Qur’an, As Sunnah dan disebutkan dari para sahabat bahwa kejelekan dapat menghapuskan amalan kebaikan. Begitu pula kebaikan dapat menghapuskan kejelekan. Sebagaimana dalam beberapa ayat disebutkan,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).” (QS. Al Baqarah: 264).

Lihatlah amalan kebaikan bisa batal dengan kejelekan.

Dalam ayat lainnya,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَرْفَعُوا أَصْوَاتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ النَّبِيِّ وَلَا تَجْهَرُوا لَهُ بِالْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَنْ تَحْبَطَ أَعْمَالُكُمْ وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.” (QS. Al Hujurat: 2).

Amalan kejelekan dengan meninggikan suara melebihi suara nabi juga bisa menghapuskan amalan. Ini menunjukkan bahwa mungkin saja amalan kebaikan terhapus dengan kejelekan. (Idem, hal. 59)

Hanya Allah yang memberi taufik.
--
[1] Allah Ta’ala berfirman,
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى
” Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wustho.” (QS. Al Baqarah: 238). Shalat wustho adalah shalat ‘Ashar sebagaimana disebutkan dalam hadits,
شَغَلُونَا عَنِ الصَّلاَةِ الْوُسْطَى صَلاَةِ الْعَصْرِ
“Mereka telah menyibukkan kami dari shalat wustho yaitu shalat Ashar.” (HR. Muslim no. 627, 628).
Akhukum fillah,
Diselesaikan saat hujan mengguyur Pesantren Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 22 Muharram 1435 H, 11:44 AM
Ikuti status kami dengan memfollow Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih DekatFB Muhammad Abduh Tuasikal, atau Twitter @RumayshoCom

Minggu, 31 Maret 2013

Tafsir Surat Al-Falaq

قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ () مِن شَرِّ مَا خَلَقَ () وَمِن شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ () وَمِن شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ () وَمِن شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
  1. Katakanlah: “Aku berlindung kepada Rabb al-falaq,
  2. Dari kejahatan makhluk-Nya,
  3. Dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita,
  4. Dan dari kejahatan wanita-wanita (tukang sihir) yang menghembus pada buhul-buhul’
  5. Dan dari kejahatan orang dengki apabila ia dengki.”
Penamaan Surat

Dinamakan surat Al-Falaq karena dibuka dengan firman Allah:
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ
(Katakanlah: “Aku berlindung kepada rabb al-falaq”)

Tema Surat
Tentang permohonan perlindungan dari kejahatan makhluk. Jadi,padanya terdapat pelajaran bagi para hamba untuk berlindung ke benteng Ar-Rahman dengan Kemuliaan dan Kekuasaan-Nya  dari kejahatan makhluk-makhluk-Nya. Juga dari kejahatan malam jika telah gelap gulita yang menimbulkan perasaan ngeri dalam jiwa, sebab pada saat itulah kejahatan berkeliaran.

Korelasi Dengan Surat Sebelumnya

Ketika Allah menjelaskan perihal Ketuhanan pada Al-Ikhlas untuk mensucikan diri-Nya dari apa yang tidak layak bagi Dzat, nama, dan sifat-Nya, maka pada surat ini dan selanjutnya (yang keduanya disebut al mu’awwdzatain atau dua surat permohonan perlindungan) Dia menjelaskan tentang segala kejahatan di dunia yang hendaknya manusia berlindung kepada Allah darinya. Juga menjelaskan tentang tingkatan makhluk yang menghalangi dari mentauhidkan Allah yaitu kaum musyrikin dan seluruh setan manusia dan jin.


Keutamaan Al-Mu’awwidztain

Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahihnya, juga Ahmad, At-Tirmidzy, dan An-Nasai dari Uqbah bin Amir, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “Apakah kamu tahu ayat-ayat yang turun pada malam ini yang belum pernah dilihat semisalnya sama sekali; Qul a’udzu birabbil falaq..dan Qul a’udzu birabbinnas…”
Imam al-Bukhary dan Ahlus-Sunan meriwayatkan perihal berobat dengan ketiga surat ini, dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah jika hendak menuju pembaringannya (tidur) pada setiap malam, maka Beliau mengumpulkan kedua telapaknya lalu meniupnya dengan membacakan Qul huwallahu ahad, Qul ‘audzubirabbil falaq, dan Qul ‘audzubirabbinnas, lalu menyapukan kedua telapak tangan Beliau pada bagian tubuh yang dapat dicapai. Beliau memulai dari kepala, wajah, dan bagian depan tubuhnya, sebanyak tiga kali.

Sebab Turunnya

Sebabnya ialah Labib bin Al-A’sham (seorang yahudi) menyihir Rasul, sebagaimana terdapat dalam Shahihain dari ‘Aisyah. Yahudi itu menyihir Nabi dengan kulit mayang kurma yang padanya dimasukkan sisir Rasul, gigi sisirnya, dan tali panah yang terpintal sebelas pintalan, serta tertusuk dengan beberapa jarum.
Kemudian Allah menurunkan al-mu’awwidzatain, maka setiap Rasul menbaca satu ayat terlepas satu pintalan dan Rasulullah merasakan pada dirinya ada rasa ringan, hingga terlepas pintalan terakhir, maka Rasulullah bangkit seolah baru saja terlepas dari ikatan. Kemudian Jibril meruqyah Rasulullah, ia membaca:
“Dengan nama Allah saya meruqyahmu dari segala yang menyakitimu, dari kejahatan yang dengki dan ‘ain (pandangan mata jahat), dan Allah yang menyembuhkan.”

Kosa Kata
أَعُوذُ
(Saya berlindung)

الْفَلَقِ
(Rabb yang) memecah dan memisahkan sesuatu dari yang lainnya, misalnya, faliqul ashbah (Yang menyingsingkan pagi), faliqul habbi wan nawa (pemecah butiran dan bijian), sedangkan penafsiran lainnya ialah ‘Waktu Shubuh’.

الرَبِّ
(Pengasuh): Penguasa Yang Mengatur yaitu Allah. Dan pemakaian kata Rabb di sini paling tepat dari nama -nama-Nya yang lain sebab perlindungan dari kemudharatan merupakan pengasuhan dan perhatian.

مِن شَرِّ مَا خَلَقَ
(dari kejahatan makhluk-Nya): Baik makhluk hidup maupun benda mati.

غَاسِقٍ
(malam gelap gulita)

وَقَبَ
(telah masuk gelapnya): Disebutkan secara khusus karena kemudharatan pada waktu ini sangat banyak dan susah untuk dihadapi.

النَّفَّاثَاتِ
(Para penyihir wanita yang menghembus ke buhul-buhul)

فِي الْعُقَدِ
(buhul-buhul): sesuatu yang dipintal, misalnya tali, benang, dan semacamnya.

النَّفَّثَ
(hembusan): tiupan yang disertai ludah yang keluar dari mulut.

حَاسِدٍ
(orang yang dengki): yang mengharapkan hilangnya kenikmatan orang lain.

 Makna Secara Global

قُلْ
(Ucapkanlah) untuk berlindung

أَعُوذُ
(saya berlindung dan berpegang kuat)

بِرَبِّ الْفَلَقِ
(kapada Rabb al-falaq) yaitu Yang memecahkan butiran dan bijian dan menyingsingkan waktu Shubuh

مِن شَرِّ مَا خَلَقَ
(dari kejahatan makhluk-Nya) yang mencakup semua ciptaan Allah, dari manusia, jin, dan hewan, maka dimintakan perlindungan dari kejahatannya kepada pencipta-Nya.

Setelah penyebutan secara umum (tentang kejahatan semua makhluk), selanjutnya Allah menyebutkan secara khusus dengan firman-Nya:


وَمِن شَرِّ غَاسِقٍ إِذَا وَقَبَ
(Dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita) artinya: dari kejahatan yang ada pada malam hari ketika manusia pulas dalam tidurnya, sedangkan para arwah jahat dan binatang yang bisa menyakitkan berkeliaran.

وَمِن شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ
(Dan dari kejahatan wanita-wanita yang menghembus pada buhul-buhul): dari kejahatan wanita-wanita penyihir yang mempergunakan hembusan pada buhul-buhul yang mereka pintal untuk melakukan sihirnya.

وَمِن شَرِّ حَاسِدٍ إِذَا حَسَدَ
(dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki)

Orang yang hasad ialah orang yang senang akan hilangnya kenikmatan dari orang yang dia dengki sehingga berusaha menghilangkan kenikmatan itu dengan segala kemampuannya, maka sangat dibutuhkan untuk meminta perlindungan kepada Allah dari kejahatannya dan untuk menggagalkan tipu dayanya.
      Masuk dalam kelompok orang yang dengki, orang yang memiliki pandangan yang jahat (‘ain), sebab tidak akan muncul ‘ain kecuali dari orang yang dengki, bertabiat jelek dan berjiwa busuk.


Jadi, surat ini mengandung permohonan perlindungan dari segala ragam keburukan, secara umum maupun khusus. Surat ini juga menunjukkan bahwa sihir itu benar adanya dan dikhawatirkan akan mudharatnya serta dimintakan kepada Allah perlindungan darinya dan dari pelakunya.

Faedah Surat
  1. Kewajiban berlindung dan memohon perlindungan kepada Allah dari segala yang dikhawatirkan yang seseorang tidak sanggup melawannya sebab tersembunyi atau sebab lainnya.
  2. Haramnya menghembus pada pintalan jika dimaksudkan sebagai rangkaian dari sihir. Sihir adalah kekafiran dan hukuman bagi penyihir adalah ditebas lehernya dengan pedang.
  3. Pengharaman secara pasti terhadap dengki. Merupakan penyakit berbahaya yang membawa seseorang untuk membunuh saudaranya, sebagaimana dengki telah membawa saudara-saudara Yusuf untuk melakukan tipu daya atas beliau, demikian pula dengki dari iblis telah mengeluarkan Adam dari surga.
  4. Menginginkan sesutu seperti yang dimiliki orang lain tanpa iri padanya dan tanpa mengharapkan nikmat orang lain hilang atau disebut juga dengan ‘ghabthah’, bukanlah termasuk dengki atau hasad. Dalam hadits shahih disebutkan: “Tidak ada hasad kecuali pada dua orang…..”, maksud kata hasad (yang dibolehkan) disini adalah ghabthah.
  5. Surat ini menunjukkan bahwa sihir memang ada, dikhawatirkan mudharatnya, dan dimohonkan perlindungan pada Allah darinya dan dari pelakunya.
  6. Masuk dalam kelompok orang yang dengki, orang yang memiliki pandangan yang jaht (‘ain), sebab tidak akan muncul ‘ain kecuali dari orang yang dengki, bertabiat jelek, dan berjiwa busuk.
  7. Allah mengkhususkan dalam petunjuk dan bimbingan-Nya kepada kita untuk berlindung dari tiga kelompok, yaitu: (1) Malam jika telah gelap gulita (menurut Ar-Razy sebabnya karena pada malam hari binatang buas keluar dari sarang-sarangnya, binatang berbisa keluar dari tempatnya, pencuri dan perampok menyerang, terjadi kebakaran, sedikit bantuan, dan para penjahat bangkit melakukan kejahatan), (2) Para wanita penyihir, dan (3) Orang yang dengki, dan telah lalu penjelasannya.

[ Dikutip dari http://www.salafy.or.id/tafsir-surat-al-falaq/]

Kamis, 14 Maret 2013

Surat Al-Ikhlas (Memurnikan Tauhid)

 قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ () اللَّهُ الصَّمَدُ ()لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ ()وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

1. Katakanlah;”Dialah Allah Yang Maha Esa,
2. Allah adalah Tuhan tempat bergantung,
3. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan,
4. dan tidak seorangpun yang setara dengan Dia.”

Materi Surat

Surat ini berbicara tentang sifat-sifat Allah ‘Ajawajalla Yang Maha Esa, Maha mengumpulkan semua sifat Kesempurnaaan, Maha dibutuhkan untuk selamanya, Yang tidak butuh kepada selain-Nya, Suci dari sifat-sifat kekurangan, sejenis, dan serupa.
Surat ini membantah kaum nashara yang berpegang pada “trinitas” dan membantah kaum musyrikin yang menjadikan bagi Allah ‘Ajawajalla anak cucu. Maha Tinggi Allah ‘Ajawajalla dari apa yang mereka ucapkan.

Penamaan Surat

Surat ini diberi banyak nama, dan yang paling masyhur; surat Al-Ikhlas karena berbicara tentang pemurnian tauhid bagi Allah ‘Ajawajalla Yang Maha Suci dari segala kekurangan dan Yang tidak mempunyai seorangpun sekutu.

Korelasi Dengan Surat Sebelumnya

Surat Al-Kafirun mengandung pelepasan dari segala macam kekafiran dan kemusyrikan sedangkan surat ini untuk menetapkan Keesaan Allah ‘Ajawajalla Yang Maha Istimewa dengan sifat-sifat Kesempurnaan, Maha diharapkan untuk selamanya, Maha Suci dari sekutu dan serupa. Oleh karenanya, keduanya dipasangkan dalam bacaan dari banyak shalat, sepertidua rakaat fajar (sunnah sebelum  Shubuh), dua rakaat thawaf, sunnah sesudah Maghrib, Istikharah (minta petunjuk), serta shalat musafir.

Keutamaannya

Banyak hadits yang membicarakan keutamaan surat ini dan bahwa dia membandingkan sepertiga bacaan Al-Quran. Imam Muslim dan At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: “Rasul Shalallahu’alaihiwassalam bersabda: ‘Berkumpullah…!! Karena saya hendak membacakan pada kalian sepertiga Al-Quran’. Lalu berkumpullah siapa yang ikut berkumpul, kemudian Rasul Shalallahu’alaihiwassalam keluar (dari rumah Beliau Shalallahu’alaihiwassalam yang bersambung dengan masjid) dan membaca qul huwallahu ahad.., dan masuk kembali. Maka sebagian kami berkata kepada sebagian yang lain: ‘Rasulullah Shalallahu’alaihiwassalam tadi bersabda bahwa “Saya akan bacakan pada kalian sepertiga Al-Quran..”, menurut saya nanti sore akan diteruskan, lalu Nabi Shalallahu’alaihiwassalam keluar lagi dan bersabda:’ Sesungguhnya saya telah bersabda kepada  kalian akan membacakan pada kalian sepertiga Al-Quran.

‘Ketahuilah Al-Ikhlas itu membandingi sepertiga Al-Quran!!.”

Sebab Turunnya

Imam Ahmad, At-Tirmidzy, dan Ibnu Jarir mengeluarkan sebuah hadits dari Ubay bin Ka’ab bahwa kaum musyrikun berkata kepada Nabi Shalallahu’alaihiwassalam: “Wahai Muhammad jelaskan pada kami asal usul Rabbmu!!”, Maka Allah ‘Ajawajalla menurunkan surat Al-Ikhlas.

Kosa Kata
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
(Katakanlah: “Dialah Allah, Yang Maha Esa):
Katakanlah wahai Muhammad terhadap orang yang menanyakan padamu tentang Rabbmu: “Dialah Allah, Yang Maha Esa.”
اللَّهُ الصَّمَدُ
(Allah Rabb tempat bergantung): Allah ‘Ajawajalla yang seharusnya segala ibadah hanya diperuntukkan bagi-Nya.
 الصَّمَدُ
(Allah tempat bergantung): Rabb yang menjadi tempat bergantung untuk selamanya dan menunaikan hajat.
لَمْ يَلِدْ
(Dia tidak beranak): Tidak hilang binasa, sebab tidak ada sesuatu yang beranak kecuali ia pasti hilang binasa.
وَلَمْ يُولَدْ
(Dan tidak pula diperanakkan): Bukan sesuatu yang baru yang tadinya tidak ada lalu ada. Dia ada pertama dan selamanya.
وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ
(Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia): Tidak ada seorangpun yang serupa atau sama dengan-Nya,

(tidak ada yang semisal dengan-Nya)



Makna Secara Global
قُلْ
(Katakanlah): Perkataan yang mantap, yakin, dan mengetahui benar maknanya.
هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
(Dialah Allah Yang Maha Esa) 
artinya: Terkhususkan keesaan untuk-Nya. Dialah Allah Yang Maha Esa, Yang sendiri mempunyai Kesempurnaan, Yang memiliki nama-nama yang indah, sifat-sifat sempurna nan tinggi, dan perbuatan yang suci, yang tidak ada keserupaan dan permisalan bagi-Nya.
اللَّهُ الصَّمَدُ
(Allah adalah Rabb tempat bergantung)
 artinya: Yang dituju dalam semua hajat. Para penghuni alam tinggi (malaikat) dan alam bawah (manusia) sangat bergantung kepada-Nya, memohon kebutuhan dan mengharap dalam segala kepentingan kepada-Nya, karena Dia Maha Sempurna dalam semua sifat-sifat-Nya. Al-Alim: Yang Sempurna Ilmu-Nya, Al-Halim: Yang Sempurna santun-Nya, Ar-Rahim: Yang rahmat-Nya meliputi segala sesuatu, dan semua sifat-sifat Allah ‘Ajawajalla Yang Maha Sempurna.

Diantara kemuliaan-Nya,
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ
(Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan) karena kesempurnaan ketidak-butuhan-Nya pada yang lain.
وَلَمْ يَكُن لَّهُ كُفُوًا أَحَدٌ
(Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia), tidak dalam nama-Nya, sifat-Nya, serta perbuatan-Nya. Jadi ,surat ini mengandung tauhidasma’ dan sifat.



Faedah Surat

1. Ma’rifah pada Allah ‘Ajawajalla dengan nama-nama dan sifat-sifatNya.
2. Penetapan tauhid dan nubuwwah
3. Batilnya menisbatkan anak pada Allah ‘Ajawajalla
4. Kewajiban ibadah hanya kepada Allah ‘Ajawajalla tidak ada sekutu bagi-Nya dalam penyembahan, karena Dia adalah Allah ‘Ajawajalla Pemilik urusan Ketuhanan dan kehambaan, tidak selain Dia.


[diambil dari buku Ad-Durusil Muhimmah li Ammatil Ummah, Cahaya Tauhhid Pres]





 

Kamis, 28 Februari 2013

Iringi Keburukan Dengan Kebaikan

(Syarh Hadits Ke-18 Arbain anNawawiyyah)

Dari Abu Dzar, Jundub bin Junadah dan Abu ‘Abdurrahman, Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhuma, dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, beliau bersabda: “Bertaqwalah kepada Allah di mana saja engkau berada dan susullah sesuatu perbuatan dosa dengan kebaikan, pasti akan menghapuskannya dan bergaullah sesama manusia dengan akhlaq yang baik”.
[HR. Tirmidzi, ia telah berkata: Hadits ini hasan, pada lafazh lain derajatnya hasan shahih]

PENJELASAN UMUM MAKNA HADITS

Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam memberikan bimbingan dalam 3 hal:
  1. Bertakwa kepada Allah di manapun kita berada. Di waktu sendirian maupun di tengah keramaian. Di setiap waktu dan tempat.
  2. Jika suatu ketika kita melakukan dosa, susulkanlah / iringi dengan banyak perbuatan ibadah dan kebaikan, agar bisa menghapus dosa itu.
  3. Bergaullah sesama manusia dengan akhlak yang baik

Definisi Taqwa

Thalq bin Habiib(seorang Tabi’i, salah satu murid Sahabat Nabi Ibnu Abbas) menjelaskan definisi taqwa: “Amalan ketaatan kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah dengan mengharap pahala Allah dan menjauhi kemaksiatan-kemaksiatan kepada Allah berdasarkan cahaya dari Allah dengan perasaan takut dari adzab Allah”.

Banyak para Ulama’ yang memuji definisi ini di antaranya al-Imam adz-Dzahaby, kemudian beliau mensyarah (menjelaskan) maksud dari definisi tersebut dalam Siyaar A’laamin Nubalaa’ (4/601)

Beberapa poin penting dari definisi taqwa menurut Thalq bin Habiib tersebut:
  1. Taqwa adalah amalan ketaatan kepada Allah dan menjauhi kemaksiatan kepada Allah.
Taqwa harus berupa amal perbuatan, tidak cukup hanya dalam hati atau ucapan saja.
  1. Taqwa harus didasarkan cahaya dari Allah, yaitu ilmu syar’i dan ittiba’ (mengikuti Sunnah Nabi).
Tidak mungkin seseorang bisa bertakwa kepada Allah tanpa ilmu. Dengan ilmu ia akan tahu mana hal-hal yang diperintah Allah (wajib atau sunnah), yang dilarang Allah (haram atau makruh), dan mana yang boleh dikerjakan (mubah).

Seseorang bisa beribadah kepada Allah hanya dengan tuntunan dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam.
  1. Taqwa harus didasari keikhlasan melakukannya karena Allah bukan karena tendensi yang lain. Ia jalankan ketaatan karena mengharap pahala Allah, dan ia tinggalkan kemaksiatan karena takut dari adzab Allah.


Iringilah Perbuatan Dosa dengan Kebaikan-Kebaikan Niscaya akan Menghapus Dosa Tersebut

Amal ibadah yang dikerjakan dengan ikhlas dan sesuai dengan Sunnah Rasul selain menambah pahala juga bisa menghapus dosa sebelumnya. Di antaranya adalah sholat, puasa, shodaqoh, umrah, amar ma’ruf nahi munkar, duduk di majelis ta’lim, dan semisalnya.

“ (antara) sholat lima waktu (yang satu dengan berikutnya), Jumat dengan Jumat, Romadlon dengan Romadlon, sebagai penghapus dosa di antaranya jika dosa-dosa besar ditinggalkan “ (H.R Muslim)

 Fitnah yang dialami seorang laki-laki pada keluarga, harta, diri, dan tetangganya dihapuskan oleh puasa, sholat, shodaqoh, dan amar ma’ruf nahi munkar (H.R Muslim)

Namun, yang bisa dihapus dengan perbuatan-perbuatan baik (ibadah) itu adalah untuk dosa-dosa kecil saja, sedangkan dosa besar hanya bisa dihapus dengan taubat nashuha. Syarat taubat nashuha adalah bertaubat dengan ikhlas karena Allah semata, menyesal secara sungguh atas perbuatannya, meninggalkan perbuatan maksiat tersebut, bertekad kuat untuk tidak mengulangi lagi selama-lamanya, dan jika terkait dengan hak hamba Allah yang lain, ia harus meminta maaf (minta dihalalkan).

Apa perbedaan dosa besar dengan dosa kecil? Dosa besar adalah segala macam perbuatan atau ucapan yang dilarang dan dibenci Allah dan diancam dalam dalil-dalil alQuran atau hadits dengan adzab neraka, laknat Allah, kemurkaan Allah, tidak akan masuk surga, tidak termasuk orang beriman, Nabi berlepas diri dari pelakunya, atau dosa yang ditegakkan hukum had di dunia, seperti membunuh, berzina, mencuri, dan semisalnya. Sedangkan dosa kecil adalah sesuatu hal yang dibenci atau dilarang Allah dan Rasul-Nya namun tidak disertai dengan ancaman-ancaman seperti dalam dosa besar.

 Namun, harus dipahami bahwa suatu dosa yang asalnya kecil bisa menjadi besar jika dilakukan terus menerus dan dianggap remeh.

Sahabat Nabi Anas bin Malik menyatakan:

Tidak ada dosa kecil jika dilakukan secara terus menerus (riwayat ad-Dailamy dan al-Iraqy menyatakan bahwa sanadnya jayyid (baik)

Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Hati-hatilah kalian dari dosa yang diremehkan (dosa kecil) karena dosa itu bisa berkumpul pada seseorang hingga membinasakannya (H.R Ahmad, atThobarony, al-Baihaqy, dinyatakan oleh al-Iraqy bahwa sanadnya jayyid (baik) ).


Majelis Ilmu Menghapus Dosa dan Menggantikan Keburukan Menjadi Kebaikan

Duduk di majelis ta’lim yang di dalamnya dibahas ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits yang shohih dengan pemahaman Salafus Sholeh, bisa menyebabkan dosa terampuni. Bahkan keburukan-keburukan diganti dengan kebaikan.

Tidaklah suatu kaum berkumpul mengingat Allah,  tidak menginginkan kecuali Wajah-Nya, kecuali akan ada penyeru dari langit:”Bangkitlah dalam keadaan diampuni, keburukan-keburukan kalian telah diganti dengan kebaikan (H.R Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh  al-Albany)

Atha’ bin Abi Robaah –salah seorang tabi’i (murid Sahabat Nabi Ibnu Abbas,  Ibnu Umar, Abu Hurairah) berkata: Barangsiapa yang duduk di (satu) majelis dzikir, Allah akan hapuskan baginya 10 majelis batil (yang pernah diikutinya). Jika majelis dzikir itu dilakukan fii sabiilillah, bisa menghapus 700 majelis kebatilan (yang pernah diikutinya). Abu Hazzaan berkata : Aku bertanya kepada Atha’ bin Abi Robaah: Apa yang dimaksud dengan majelis dzikir? Atho’ menjelaskan: (majelis dzikir) adalah majelis (yang menjelaskan) halal dan haram, tentang bagaimana sholat, berpuasa, menikah, thalak, dan jual beli.
 (Hilyatul Awliyaa’ karya Abu Nu’aim (3/313), al-Bidayah wanNihaayah karya Ibnu Katsir(9/336)).


Akhlak yang Baik

Para Ulama’ Salaf  mendefinisikan akhlaq yang baik, di antaranya :

Al-Hasan al-Bashri mengatakan : “ Akhlaq yang baik adalah dermawan, banyak memberi bantuan, dan bersikap ihtimaal (memaafkan).

AsySya’bi menjelaskan : “ Akhlaq yang baik adalah suka memberi pertolongan dan bermuka manis

Ibnul Mubaarok mengatakan : “ Akhlaq yang baik adalah bermuka manis, suka memberi bantuan (ma’ruf) , dan menahan diri untuk tidak mengganggu/menyakiti orang lain “ (Jaami’ul ‘Uluum wal Hikaam karya Ibnu Rajab juz 1 hal 454-457)

Keutamaan akhlaq yang baik banyak disebutkan oleh Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam dalam hadits beliau :

 “ Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaqnya “ (H.R Ahmad, Abu Dawud, AtTirmidzi, al-Hakim dan dishahihkan oleh adz-Dzahaby).

 “ Sesungguhnya seorang mukmin dengan kebaikan akhlaqnya bisa mencapai derajat orang-orang yang (banyak) berpuasa dan (banyak) melakukan qiyamullail “ (H.R Ahmad, Abu Dawud, dan al-Hakim, dishohihkan oleh adz-Dzahaby)

“(Hal) yang paling banyak memasukkan orang ke dalam surga adalah taqwa kepada Allah dan akhlaq yang baik “(H.R Ahmad, AtTirmidzi, Ibnu Majah, dihasankan oleh Syaikh al-Albany )

“ Aku menjamin rumah di bagian surga yang tertinggi bagi orang yang baik akhlaqnya”(H.R Abu Dawud dan AtThobrooni dan dihasankan oleh Syaikh al-Albany) 


[Dikutip dari tulisan Ustadz Abu Utsman Kharisman]



 

Jumat, 22 Februari 2013

Mengingat Kembali, Dari Apa Kita dicipta

Dalam perjalanan kehidupan ini kita senantiasa menyaksikan, apakah dengan penglihatan kita, pendengaran kita atau dengan persaksian yang selainnya, ada seorang yang terlahir di muka bumi ini di waktu yang telah lalu,  kemarin atau hari ini. Dengan berjalannya waktu, mereka tumbuh berkembang. Terkadang seseorang tidak sempat memikirkan tanda-tanda kebesaran Allah dalam penciptaan manusia tersebut. Sesungguhnya dari apa kita diciptakan Allah? Lebih lagi tidak mengerti untuk apa manusia diciptakan.

Allah Ta’aala berfirman :

Bukankah Telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), Karena itu kami jadikan dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya kami Telah menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.(Al-Insan : 1-3).

Allah Ta’aala mengatakan  dengan menyebutkan dalam surat yang mulia ini (surat al-Insan) awal permulaan keadaan seorang manusia, baik  permulaannya, pertengahan dan akhir manusia tersebut. Allah Ta’aala menyebutkan Sebelum adanya manusia , telah berlalu suatu masa yang sangat panjang  ia adalah sesuatu yang tidak ada, atau bahkan sesuatu yang tidak bisa disebut.  Di saat Allah Ta’aala menghendaki untuk menciptakan manusia, maka Allah cipta Adam bapak manusia yang terbuat dari tanah, hingga secara berturutan sambung menyambung  Allah Ta’aala cipta anak cucu Adam.  Allah Ta’aala katakan :

 “Dari setetes air mani yang telah bercampur”.

Yaitu air yang hina dan menjijikkan, Allah Ta’aala hendak mengujinya dengan perkara tersebut. Agar Allah Ta’aala mengetahui apakah ia (manusia) kemudian melihat keadaannya di awal pertama dan memikirkan ataukah ia melupakannya atau bahkan ia menipu dirinya sendiri?

Allah Ta’aala telah menjadikan manusia serta memberikan kekuatan dalam bentuk lahir dan batin, semisal pendengaran, penglihatan dan bagian-bagian  tubuh yang lain. Kemudian Allah Ta’aala menyempurnakannya dan menjadikan semua itu dalam keadaan baik dan berfungsi sehingga ia mampu mencapai apa yang menjadi maksud tujuannya.

 Hingga Allah Ta’aala utus para Rasul utusanNya, Allah turunkan kitab-kitabNya kepada mereka (manusia) serta menunjuki manusia suatu jalan yang akan menghantarkan mereka kepada Allah Ta’aala. Memberikan motivasi di kala manusia menempuh jalan tersebut, dan menjelaskan tentang apa yang akan didapatkan ketika seseorang itu telah sampai kepada Allah Ta’aala.

Kemudian Allah terangkan kepada manusia jalan-jalan yang akan menyeret kepada kebinasaan. Allah Ta’aala memberikan ancaman (bagi manusia) terhadap jalan tersebut, serta menjelaskan perihal apa yang akan ia terima apabila seseorang memilih menempuh jalan tersebut,  dan Allah mengujinya  dengan perkara itu. Maka manusia terbagi, menjadi seorang yang bersyukur terhadap kenikmatan Allah Ta’aala yang diberikan kepadanya, sehingga ia kemudian  menunaikan hak-hak yang Allah embankan kepadanya, bagian manusia yang lain adalah seorang yang kufur terhadap kenikmatan yang telah Allah berikan kepada mereka terkait kenikmatan agama dan kenikmatan dunia, ia menolaknya hingga kufur kepada Rabb-nya dan ( lebih memilih) untuk menempuh jalan yang menjerumuskan kepada kebinasaan Demikian apa yang dituturkan oleh as-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam kita Taisirul Karimir Rahman fii Tafsiiri Kalaamil Mannan tafsir surat al-Insan ayat 1-3).

Dari setetes air mani yang hina lagi menjijikkan yang telah bercampur dengan hal yang serupa, itulah asal mula kita sebagai anak cucu Adam, dalam keadaan berada dan melewati  jalan yang biasa di lewati suatu hal yang najis. Itulah asal mula keberadaan kita sebagai manusia. Semua itu dimengerti oleh setiap individu yang bisa menggunakan akalnya.  Dan hendaknya setiap individu menyadari hal tersebut, untuk kemudian tahu akan dirinya, yang harus tunduk kepada setiap seruan penciptanya yaitu  Allah Ta’aala yang telah memberikan kemuliyaan kepadanya, berupa ilmu dan seluruh kenikmatan-kenikmatan yang telah Allah Ta’aala berikan kepadanya.

Untuk beribadah hanya kepada Allah Ta’aala semata dan untuk tidak sedikitpun mensekutukan kepada Allah Ta’ala dengan sesuatupun,  itulah tujuan diciptakannya manusia. Tujuan yang sangat mulia. Setiap manusia hendaknya mencari tujuan yang sangat mulia tersebut . Hanya untuk beribadah kepada-Nya semata.

Firman Allah Ta’aala :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُون

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (adz-Dzariyaat : 56).

Dengan mengingat kembali, dari apa manusia dicipta ia akan mengetahui kedudukan dirinya, ia tahu kadar dirinya, ia akan mengetahui betapa banyak kesempurnaan-kesempurnaan yang diberikan Allah atas dirinya sebagai makhluk. Dan dengan mengingat kembali dari apa ia dicipta, adakah kesempatan seseorang untuk kemudian berlaku kibir (sombong) kepada sesamanya, sedangkan ia dicipta dari suatu yang sama-sama menjijikkan. Dan Terlebih dari pada itu adakah kesempatan berlaku kibir (sombong) di hadapan Allah Ta’aala yang telah menciptakannya? Yang telah menyempurnakannya sebagai makhluk?

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ

Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya .(at-Tiin : 4)

Hendaklah setiap individu menyadari dan sesaat untuk senantiasa mengingat kembali, dari apa asal ia dicipta ini. Sehingga pada akhirnya mengetahui kedudukan dan kadar dirinya, dan mengetahui untuk tujuan mulia apa ia dicipta.

Wallahu Ta’aala a’lam.

[Dikutip dari tulisan Ustadz Marwan Abu Hafsh ]

Kamis, 21 Februari 2013

Wasiat Nabi : Jangan Marah


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam: “Berilah wasiat kepadaku”. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah engkau marah”. Maka diulanginya permintaan itu beberapa kali. Sabda beliau: “Janganlah engkau marah”.(HR. al-Bukhari)

PENJELASAN HADITS

Seorang laki-laki datang kepada Nabi dan meminta  diberi wasiat. Nabi mewasiatkan kepadanya untuk jangan marah. Hal itu diulangi beberapa kali, menunjukkan pentingnya wasiat tersebut. Hal tersebut menunjukkan bahwa menahan amarah memiliki kedudukan, manfaat, dan keutamaan yang tinggi. Sebagian ulama’ menyatakan bahwa wasiat Nabi disesuaikan dengan keadaan orang yang meminta wasiat. Orang yang meminta wasiat tersebut adalah seorang pemarah, maka Nabi memberikan wasiat kepadanya agar jangan marah.
Janganlah engkau marah”, kata sebagian para Ulama’ mengandung 2 makna:
  1. Latihlah dirimu untuk senantiasa bersikap sabar dan pemaaf, jangan jadi orang yang mudah marah.
  2. Jika timbul perasaan marah dalam dirimu, kendalikan diri, tahan ucapan dan perbuatan agar jangan sampai terjadi hal-hal yang engkau sesali nantinya. Tahan diri agar jangan sampai berkata atau berbuat hal-hal yang tidak diridhai Allah.
(disarikan dari penjelasan Syaikh Abdurrahman as-Sa’di)

Marah Sumber Keburukan 

Dalam hadits riwayat Ahmad, laki-laki yang meminta wasiat kepada Nabi itu berkata: “(kemudian aku memikirkan wasiat Nabi tersebut), ternyata kemarahan adalah mencakup keburukan seluruhnya”.

Jika seseorang marah dan tidak berusaha untuk mengendalikannya, ia akan berbicara atau berbuat di luar kesadaran sehingga nanti akan ia sesali. Betapa banyak kalimat talak diucapkan suami karena marah, dan setelah kemarahannya mereda ia sangat menyesal. Ada juga orangtua yang sangat marah kepada anaknya sehingga memukul dan menganiayanya, akibatnya anaknya menjadi cacat. Betapa banyak kemarahan menyebabkan hubungan persaudaraan menjadi putus, harta benda dirusak dan dihancurkan. Semua itu menunjukkan bahwa kemarahan yang tidak dikendalikan akan menyebabkan keburukan-keburukan.

Keutamaan Menahan Amarah

Menahan amarah adalah sebab memperoleh ampunan Allah dan surga-Nya:

Dan bersegeralah menuju ampunan dari Tuhan kalian dan surga yang lebarnya (seluas) langit dan bumi yang disediakan bagi orang yang bertakwa, yaitu orang yang menginfakkan (hartanya) di waktu lapang atau susah, dan orang-orang yang menahan amarah, dan bersikap pemaaf kepada manusia, dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik (Q.S Ali Imran:133-134).

  Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

Janganlah engkau marah, niscaya engkau mendapat surga (H.R at-Thobarony dan dishahihkan oleh al-Mundziri)

Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

Barangsiapa yang menahan amarah padahal ia mampu untuk melampiaskannya, Allah akan panggil ia di hadapan para makhluk pada hari kiamat, hingga Allah menyuruhnya untuk memilih bidadari (terbaik) yang ia inginkan (H.R Abu Dawud, atTirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Sahabat Nabi Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhu berkata: Tidak ada luapan yang lebih besar pahalanya di sisi Allah selain daripada luapan kemarahan yang ditahan oleh seseorang hamba demi menggapai wajah Allah (riwayat al-Bukhari dalam Adabul Mufrad)  

Apa yang Harus Dilakukan Ketika Marah 

Jika seseorang mulai tersulut emosinya untuk marah, hal yang harus dilakukan untuk menahan atau meredakan kemarahan adalah:
         
1. Diam, tidak berkata apa-apa
وَإِذَا غَضِبْتَ فَاسْكُتْ
Jika engkau marah, diamlah (H.R al-Bukhari dalam Adabul Mufrad, dishahihkan Syaikh al-Albany).

2. Mengingat-ingat keutamaan yang sangat besar karena menahan amarah.
     
 3. Mengucapkan ta’awwudz: A’udzu billaahi minasysyaithoonir rojiim.

Nabi pernah melihat dua orang bertikai dan saling mencela, sehingga timbul kemarahan dari salah satunya. Kemudian Nabi menyatakan: Aku sungguh tahu suatu kalimat yang bisa menghilangkan (perasaan marahnya):A’udzu billaahi minasysyaithoonir rojiim (H.R al-Bukhari dan Muslim)

4. Merubah posisi : dari berdiri menjadi duduk, dari duduk menjadi berbaring.
 
 إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ
Jika salah seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri hendaknya ia duduk. Jika dengan itu kemarahan menjadi hilang (itulah yang diharapkan). Jika masih belum hilang, hendaknya berbaring (H.R Abu Dawud)

Faidah          : hadits yang menyatakan bahwa jika seseorang marah hendaknya berwudhu’ dilemahkan oleh sebagian Ulama’ di antaranya Syaikh al-Albany dalam Silsilah al-Ahaadits ad-Dhaifah no 582.

Marah Dalam Hal Syariat Allah Dilanggar

Bukanlah artinya seseorang tidak boleh marah sama sekali. Marah ketika ada penyelisihan terhadap syariat Allah adalah suatu hal yang diharapkan.

Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam tidak pernah membalas perlakuan buruk terhadap diri pribadi beliau, namun jika ada penyelisihan terhadap syariat Allah, beliau bersikap marah dan bertindak dengan tegas. Kemarahan beliau adalah karena Allah.

Ummul Mu’minin ‘Aisyah –radliyallaahu ‘anha- menyampaikan kepada kita:

مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلاَّ أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا فَإِنْ كَانَ إِثْمًا كَانَ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنْهُ وَمَا انْتَقَمَ رَسُوْلُ اللهِ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  لِنَفْسِهِ إِلاَّ أَنْ تُنْتَهَكَ حُرْمَةُ اللهُ فَيَنْتَقِمُ ِللهِ بِهَا

“ Tidaklah Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam diberi pilihan di antara 2 hal kecuali beliau ambil yang paling mudah di antara keduanya selama tidak ada (unsur) dosa. Jika ada(unsur) dosa, beliau adalah manusia yang paling jauh darinya. Tidaklah Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wasallam membalas (ketika disakiti) untuk dirinya sendiri, namun jika hal-hal yang diharamkan Allah dilanggar, beliau membalas untuk Allah ‘Azza wa Jalla “ (H.R AlBukhari-Muslim)

Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam pernah marah ketika melihat ada gambar makhluk bernyawa di rumahnya, kemudian beliau bersabda:

أَنَّ الْمَلَائِكَةَ لَا تَدْخُلُ بَيْتًا فِيهِ صُورَةٌ وَأَنَّ مَنْ صَنَعَ الصُّورَةَ يُعَذَّبُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَقُولُ أَحْيُوا مَا خَلَقْتُمْ
Sesungguhnya para Malaikat (penyebar rahmat) tidaklah masuk ke rumah yang di dalamnya ada gambar (makhluk bernyawa), dan barangsiapa yang menggambar (makhluk bernyawa) akan diadzab pada hari kiamat dan dikatakan kepadanya: Hidupkan makhluk yang kalian ciptakan (H.R al-Bukhari no 2985).

[ Dikutip dari tulisan Ustadz Abu Utsman Kharisman; Syarh Hadits Ke-16 Arbain anNawawiyyah]